Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Bapak Mertua

4 Maret 2019   21:54 Diperbarui: 6 Maret 2019   00:36 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak anak-anak sudah bisa berkata "ah" kepadaku, tiba-tiba saja aku merasa tak lagi berhak menjadi mama mereka. Kukatakan demikian, karena mereka lebih penurut dan dekat dengan Habib. Habib adalah bapak mertuaku. Dia seorang pensiunan tentara kelas rendahan. Dia tinggal di komplek bilangan pinggiran kota.

Berumah kecil dengan kamar tidur dua. Ruang tamu satu. Dan ruang keluarga merangkap dapur. Serta satu buah kamar mandi yang menyatu dengan kakus. Tapi anehnya, anak-anak selalu betah di rumahnya.

Coba saja kalau tiba Sabtu sore, mereka sudah menggumpal kain ke dalam tas ransel dan langsung terbang bersama suamiku ke rumah Habib. Biasa, anak-anak akan menginap di rumah kakek mereka, sampai besok sorenya pulang setelah dijemput suamiku. Lebih parah lagi, jika libur sekolah sampai seminggu atau dua minggu, anak-anak sembilan puluh sembilan persen di rumah Habib. Satu persennya di rumah kami, tapi tak bercengkerama denganku. Mereka hanya melotot di depan televisi seharian, atau bermain playstation.

Oya, hampir lupa! Aku memiliki dua orang anak. Si sulung, Bani, berumur sembilan tahun dan duduk di kelas empat esde. Serta si bungsu, Amin, berumur lima tahun dan masih duduk di bangku tk. 

Cerita mereka di rumah kami kerap tentang Habib! Ah, apa sih kehebatan lelaki berusia senja itu?

Aku merasa Habib telah meracuni otak anak-anak agar tak dekat dengan mamanya. Dia sangat pandai. Dia menyimpan "racun permen" bertoples-toples di lemari rumahnya. Lemari harta karun kata anak-anak. Juga ada timbunan biskuit-biskuit atau kue-kue dilumuri coklat. 

Dan itu jelas sangat menakutkan! Aku cemas gigi anak-anak akan berlobang karena terlalu sering memakan yang manis-manis dan berasa coklat. Tapi aku selalu heran. Setiap kali anak-anak pulang ke rumah, gigi-gigi mereka tetap utuh serta telah disikat bersih. 

Begitupun, aku tak menerima perlakuan Habib. Dia telah merampok perhatian anak-anak dari mamanya sendiri. Perduli amat meski dia mertuaku. Sebab, aku merasa, sejak berpacaran dengan Rudi, suamiku, Habib seolah tak senang denganku. Menurut Rudi itu hanya perasaanku saja. Namun aku tak bisa. Setiap Habib berbicara denganku, seakan sindiran saja. Seperti dulu dia berkata, "Nanti kalau sudah menikah, kau harus perhatian kepada Rudi, lho!" Dia tersenyum. 

Belum lagi masalah anak-anak. "Kau harus lebih ramah dengan anak-anakmu. Jangan selalu memarahi mereka," ucapnya ketika dia berkunjung ke rumah beberapa bulan lalu. Ah, apa sih maunya dia? Aku seorang guru. Aku lebih tahu bagaimana mengurus anak-anak sendiri. Mengurus anak-anak orang di sekolahan aku sanggup, kenapa mengurus anak-anak sendiri tak bisa?

Aku heran juga. Habib pensiunan tentara. Orangnya kemungkinan berjiwa keras. Tegas serupa disiplin yang diterapkan ketika bertugas. Kenapa dia sangat lengket dengan anak-anak?

"Mau ke mana lagi?" tanyaku ketika Rudi kelihatan sudah rapi dan membawa perlengkapan pancing.

"Kan mau menjemput Bani dan Amin," jawabnya sambil mengecup keningku.

"Menjemput mereka kok masih pagi begini? Lagipula, untuk apa membawa pancing segala?" selidikku. Dia cengengesan seperti tabiatnya bila ketahuan mencoba berbohong.

"Ya, sekalian mau memancing ikan. Kebetulan ada perlombaan memancing ikan di daerah Bapak. Pasti seru."

"Aku ikut!" sentakku. Rudi membelalak.

"Ikut?! Bukannya kau...." Ucapannya terputus karena aku sudah masuk ke kamar dan bersalin pakaian. Begitu selesai, tanpa banyak bicara aku langsung duduk di dalam mobil. Rudi mendecak beberapa kali. Setelah memasukkan peralatan pancing di bagasi, dia membisu. Dia menyetir mobil seolah tanpa teman. Kami tak bercakap hingga sepuluh menit. Kemudian Rudi mulai bebicara setelah iring-iringan mobil pengantin menghentikan sementara perjalanan kami. 

"Dari tadi merengut terus, Ma. Kenapa? Aku juga heran, kenapa mama tiba-tiba mau ke rumah bapak? Biasanya mama paling malas kalau diajak ke sana," katanya seolah menyindirku.

"Aku ingin protes!" geramku. Rudi tertawa. Dia menyetel radio dengan volume rendah. "Kenapa bapakmu selalu membuatku tak berarti? Lihat, anak-anak tak lagi menganggapku mama mereka. Mereka sangat jauh dariku. Cerita-cerita yang keluar dari mulut mereka hanyalah kakek yang baik. Yang ramah, dan tak suka marah. Uh, apaan tuh! Coba, kalau kakek mereka yang menyuruh melakukan sesuatu, pasti langsung dilaksanakan tanpa menunggu perintah kedua. Nah, kalau aku yang menyuruh, seringkali mereka pura-pura tak mendengar. Kalau aku marah, barulah semua bergerak sambil bersungut-sungut.

"Lho! Bapakku itu bapakmu juga, Ma. Tak baik mengatainya demikian."

"Iya! Tapi perbuatannya membuatku kesal. Dia membebaskan anak-anak menikmati permen dan coklat. Padahal di rumah kita sendiri benda-benda itu menjadi pendatang terlarang. Papa tahu itu bisa merusak gigi mereka. Tapi kalau aku menegur bapakmu, eh... bapak kita, dia seolah tak mau mendengar. Kalau begini terus, aku ingin kita pindah rumah ke tempat jauh. Misalnya dekat dengan rumah orangtuaku!"

Rudi terhenyak. Kakinya mengerem mobil dengan mendadak. Seorang pejalan kaki melintas begitu tiba-tiba. Setelah menggerutu dan pejalan kaki itu berlalu, barulah Rudi kembali ke posisi semula. Mobil melaju sedikit kencang di jalanan yang lengang.

"Ada-ada saja mama ini. Persoalan pindah-pindahan itu tak mudah. Kita tinggal di Palembang, sedangkan orangtuamu di Jambi. Bagaimana pekerjaanku? Bagaimana pekerjaanmu? Bagaimana dengan sekolah anak-anak?" Dia menumpukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat dadaku penuh. Jadi, terpaksa aku membisu sampai mobil memasuki daerah tempat Habib tinggal. Mobil jalan manggut-manggut. Banyak anak-anak kecil berlarian di jalanan. Beberapa lelaki dewasa sedang bermain layang-layang. Seorang dua lelaki lain yang mengenal Rudi, melambai. Rudi membalas dengan lebih memelankan mobil dan menyapa.

Pfff! Akhirnya perjalanan yang membuat otak dan isi perutku bergejolak, usai sudah. Sekarang tinggal berhadapan dengan Habib. Sesudah Rudi memarkirkan mobil, buru-buru aku masuk ke rumah Habib. Aku mencari Bani dan Amin. Celingak-celinguk sebentar, lalu mendapati mereka yang sedang asyik main ludo di ruang keluarga merangkap dapur.

"Horrreee! Mama datang! Mama datang!" teriak anak-anak itu bersamaan. Habib yang sedang mandi menjulurkan kepalanya yang bersabun dari balik pintu kamar mandi. 

"Mama datang bersama papa, Kek," lanjut Bani.

Habib kelihatan senang bukan kepalang. Usai bersalin pakaian dia menerimaku dan Rudi di ruang tamu. Dia menyalami kami dengan hangat. Bahkan dia sempat mengatakan sangat bersyukur aku mau singgah sebentar di rumah kecilnya.

Hanya kata-kata sumbang. Basa-basi! Aku yakin dia berpura-pura. Dia pasti tak menyukai kedatanganku. Karena bisa mengganggu keasyikannya bercengkerama dengan kedua cucunya. Dengan kehadiranku akan banyak undang-undang seperti; Bani, jangan terlalu banyak makan permen! Amin, cepat sikat gigi kalau tak ingin ompong! Jangan terlalu capek! Berhentilah bermain dan tidur! Memancingnya jangan terlalu lama! Jangan berpanas, nanti sakit kepala! Bla...bla... bla... Itu memang kebiasaanku. Senang mengingatkan anak-anak. Kalau aku tak melarang atau menyuruh mereka berbuat ini-itu, pastilah berabe. Bila keduanya sakit, siapa yang repot? Pasti aku! Habib tentu hanya bisa mengeluh; kasihan cucu-cucuku!

Aku menjadi pendiam. Kunikmati keceriaan mereka dari rumah sampai ke lokasi pemancingan. Di lokasi pemancingan, aku duduk di bawah pondok di dekat seorang perempuan yang nyaris sebaya denganku. Kami berdiam diri sekian lama. Hingga perempuan itu memulai menyapa.

"Tak ikut memancing dengan keluarga?" tanyanya. Aku menjawab dengan gelengan. Dia menawarkanku kue coklat. Tapi gegas kutampik sebab gigiku tiba-tiba terasa ngilu.

Kami kemudian berbincang cukup akrab. Nama perempuan itu Hartati. Perempuan asal Jawa Tengah. Dia menikah dengan lelaki dari Sekayu, salah satu ibukota kabupaten di Sumatera Selatan. Sekarang dia seorang janda. Dia sedang menemani tiga anaknya lomba memancing. 

"Lelaki tua itu bapak anda?" Hartati bertanya.

"Bukan! Dia mertuaku!"

"Oh!" Dia terdiam sejenak karena sibuk menikmati es krim yang juga tak ingin kucicipi ketika ditawarkannya kepadaku. "Beruntung sekali anda. Mempunyai mertua yang sayang kepada anak-anak. Dia kelihatan cukup ramah. Cukup bisa memahami dan menyelami dunia anak-anak. Lihatlah betapa riangnya mereka! Berbeda betul dengan bapakku. Dia paling anti anak-anak. Kepada cucu-cucunya juga ketus. Terkadang aku bertengkar dengannya tentang tingkahnya yang tak baik itu. Anda memang sangat beruntung memiliki mertua seperti dia...."

Pikiranku melayang-layang. Aku tak tahu lagi dia berbicara apa. Aku baru sadar masih di lokasi pemancingan saat dia permisi pulang duluan. Sementara hatiku berkecamuk. Benarkah pendapatnya tentang Habib? Baikkah mertuaku itu kepada cucu-cucunya? Ah, tak mungkin! Dia terlalu jahat karena telah mencerabut kasih-sayangku atas anak-anakku sendiri.

Pulang ke rumah Habib, rasa lelah menggelayutiku. Setelah dipaksa makan sore oleh Rudi, aku langsung tertidur di kamar tempat tidur Bani dan Amin. Cukup lama, hingga terbangun aku menyadari malam sudah benar-benar larut. Rudi mendengkur halus di sebelahku.

Brengsek! Aku terlalu lelap tidur. Bukankah sore tadi kami mesti pulang ke rumah? Bagaimana dengan sekolah Bani dan Amin? Bagaimana pekerjaanku dan Rudi? Apakah kami harus libur semua? 

Segera kuguncang bahu Rudi, lalu mengajaknya pulang.

"Malam-malam begini? Besok sajalah!" keluhnya.

"Besok kita harus bekerja, Pa! Anak-anak juga mesti sekolah!" Aku mengingatkannya. Tinggal Rudi yang membelakangiku. "Pa!"

"Mama sudah pikun, ya? Besok itu libur. Tanggal merah!" Rudi kembali tertidur.

Tanggal merah? Oh, kenapa aku sampai lupa? Kucari-cari Bani dan Amin. Tapi keduanya tak tidur sekamar dengan kami. Mungkin di kamar kakek mereka.

Aku berjinjit menuju kamar Habib. Kulihat pintunya masih terbuka sedikit. Cahaya lampu yang suram, terselip di sela pintu. Lalu pelan kudengar suara orang-orang berbincang. Wah, Habib benar-benar keterlaluan. Malam-malam begini dia masih mengajak anak-anakku mengobrol.

Aku hampir membentak Bani dan Amin sebagai tanda kemarahanku terhadap Habib. Namun aku seketika mengurungkannya. Aku menguping pembicaraan mereka.

"Mama itu berbeda dengan kakek." Nah, itu suara Bani.

"Berbeda kenapa? Ya, memang berbeda sih! Kakek laki-laki, dan mama kalian perempuan." Habib terkekeh. 

"Bukan, Kek! Mama orangnya suka marah. Kalau kami bertanya sesuatu, mama selalu cuek. Berbeda dengan kakek. Kakek ramah, dan tak pernah marah kalau menyuruh atau melarang kami melakukan sesuatu. Kakek juga senang mendongeng."

"Iya! Amin ingin sekali-sekali didongengi mama. Tapi tak pernah ya, Kak!" ucap Amin mengeluh.

"Sudah! Sudah! Tak baik membicarakan mama sendiri. Sekarang kakek akan mendongeng lagi. Tadi malam cerita si Kancil sudah sampai di mana?"

Aku mundur teratur. Kurasakan dada ini gemetar. Begitukah tanggapan anak-anak terhadapku? Apakah aku terlalu keras mendidik mereka? Aku langsung merebahkan tubuh di sebelah Rudi. Kupejamkan mata, namun lelap tak kunjung tiba. Pikiranku kacau. Setelah menghela napas panjang, lalu berniat merubah cara mendidik anak-anak, kurasakan dada ini plong. Aku tertidur seketika, dengan mungkin menyisakan sesungging senyum di ujung bibir.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun