Pfff! Akhirnya perjalanan yang membuat otak dan isi perutku bergejolak, usai sudah. Sekarang tinggal berhadapan dengan Habib. Sesudah Rudi memarkirkan mobil, buru-buru aku masuk ke rumah Habib. Aku mencari Bani dan Amin. Celingak-celinguk sebentar, lalu mendapati mereka yang sedang asyik main ludo di ruang keluarga merangkap dapur.
"Horrreee! Mama datang! Mama datang!" teriak anak-anak itu bersamaan. Habib yang sedang mandi menjulurkan kepalanya yang bersabun dari balik pintu kamar mandi.Â
"Mama datang bersama papa, Kek," lanjut Bani.
Habib kelihatan senang bukan kepalang. Usai bersalin pakaian dia menerimaku dan Rudi di ruang tamu. Dia menyalami kami dengan hangat. Bahkan dia sempat mengatakan sangat bersyukur aku mau singgah sebentar di rumah kecilnya.
Hanya kata-kata sumbang. Basa-basi! Aku yakin dia berpura-pura. Dia pasti tak menyukai kedatanganku. Karena bisa mengganggu keasyikannya bercengkerama dengan kedua cucunya. Dengan kehadiranku akan banyak undang-undang seperti; Bani, jangan terlalu banyak makan permen! Amin, cepat sikat gigi kalau tak ingin ompong! Jangan terlalu capek! Berhentilah bermain dan tidur! Memancingnya jangan terlalu lama! Jangan berpanas, nanti sakit kepala! Bla...bla... bla... Itu memang kebiasaanku. Senang mengingatkan anak-anak. Kalau aku tak melarang atau menyuruh mereka berbuat ini-itu, pastilah berabe. Bila keduanya sakit, siapa yang repot? Pasti aku! Habib tentu hanya bisa mengeluh; kasihan cucu-cucuku!
Aku menjadi pendiam. Kunikmati keceriaan mereka dari rumah sampai ke lokasi pemancingan. Di lokasi pemancingan, aku duduk di bawah pondok di dekat seorang perempuan yang nyaris sebaya denganku. Kami berdiam diri sekian lama. Hingga perempuan itu memulai menyapa.
"Tak ikut memancing dengan keluarga?" tanyanya. Aku menjawab dengan gelengan. Dia menawarkanku kue coklat. Tapi gegas kutampik sebab gigiku tiba-tiba terasa ngilu.
Kami kemudian berbincang cukup akrab. Nama perempuan itu Hartati. Perempuan asal Jawa Tengah. Dia menikah dengan lelaki dari Sekayu, salah satu ibukota kabupaten di Sumatera Selatan. Sekarang dia seorang janda. Dia sedang menemani tiga anaknya lomba memancing.Â
"Lelaki tua itu bapak anda?" Hartati bertanya.
"Bukan! Dia mertuaku!"
"Oh!" Dia terdiam sejenak karena sibuk menikmati es krim yang juga tak ingin kucicipi ketika ditawarkannya kepadaku. "Beruntung sekali anda. Mempunyai mertua yang sayang kepada anak-anak. Dia kelihatan cukup ramah. Cukup bisa memahami dan menyelami dunia anak-anak. Lihatlah betapa riangnya mereka! Berbeda betul dengan bapakku. Dia paling anti anak-anak. Kepada cucu-cucunya juga ketus. Terkadang aku bertengkar dengannya tentang tingkahnya yang tak baik itu. Anda memang sangat beruntung memiliki mertua seperti dia...."