Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Bapak Mertua

4 Maret 2019   21:54 Diperbarui: 6 Maret 2019   00:36 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kan mau menjemput Bani dan Amin," jawabnya sambil mengecup keningku.

"Menjemput mereka kok masih pagi begini? Lagipula, untuk apa membawa pancing segala?" selidikku. Dia cengengesan seperti tabiatnya bila ketahuan mencoba berbohong.

"Ya, sekalian mau memancing ikan. Kebetulan ada perlombaan memancing ikan di daerah Bapak. Pasti seru."

"Aku ikut!" sentakku. Rudi membelalak.

"Ikut?! Bukannya kau...." Ucapannya terputus karena aku sudah masuk ke kamar dan bersalin pakaian. Begitu selesai, tanpa banyak bicara aku langsung duduk di dalam mobil. Rudi mendecak beberapa kali. Setelah memasukkan peralatan pancing di bagasi, dia membisu. Dia menyetir mobil seolah tanpa teman. Kami tak bercakap hingga sepuluh menit. Kemudian Rudi mulai bebicara setelah iring-iringan mobil pengantin menghentikan sementara perjalanan kami. 

"Dari tadi merengut terus, Ma. Kenapa? Aku juga heran, kenapa mama tiba-tiba mau ke rumah bapak? Biasanya mama paling malas kalau diajak ke sana," katanya seolah menyindirku.

"Aku ingin protes!" geramku. Rudi tertawa. Dia menyetel radio dengan volume rendah. "Kenapa bapakmu selalu membuatku tak berarti? Lihat, anak-anak tak lagi menganggapku mama mereka. Mereka sangat jauh dariku. Cerita-cerita yang keluar dari mulut mereka hanyalah kakek yang baik. Yang ramah, dan tak suka marah. Uh, apaan tuh! Coba, kalau kakek mereka yang menyuruh melakukan sesuatu, pasti langsung dilaksanakan tanpa menunggu perintah kedua. Nah, kalau aku yang menyuruh, seringkali mereka pura-pura tak mendengar. Kalau aku marah, barulah semua bergerak sambil bersungut-sungut.

"Lho! Bapakku itu bapakmu juga, Ma. Tak baik mengatainya demikian."

"Iya! Tapi perbuatannya membuatku kesal. Dia membebaskan anak-anak menikmati permen dan coklat. Padahal di rumah kita sendiri benda-benda itu menjadi pendatang terlarang. Papa tahu itu bisa merusak gigi mereka. Tapi kalau aku menegur bapakmu, eh... bapak kita, dia seolah tak mau mendengar. Kalau begini terus, aku ingin kita pindah rumah ke tempat jauh. Misalnya dekat dengan rumah orangtuaku!"

Rudi terhenyak. Kakinya mengerem mobil dengan mendadak. Seorang pejalan kaki melintas begitu tiba-tiba. Setelah menggerutu dan pejalan kaki itu berlalu, barulah Rudi kembali ke posisi semula. Mobil melaju sedikit kencang di jalanan yang lengang.

"Ada-ada saja mama ini. Persoalan pindah-pindahan itu tak mudah. Kita tinggal di Palembang, sedangkan orangtuamu di Jambi. Bagaimana pekerjaanku? Bagaimana pekerjaanmu? Bagaimana dengan sekolah anak-anak?" Dia menumpukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat dadaku penuh. Jadi, terpaksa aku membisu sampai mobil memasuki daerah tempat Habib tinggal. Mobil jalan manggut-manggut. Banyak anak-anak kecil berlarian di jalanan. Beberapa lelaki dewasa sedang bermain layang-layang. Seorang dua lelaki lain yang mengenal Rudi, melambai. Rudi membalas dengan lebih memelankan mobil dan menyapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun