"Syukurlah. Beruntung sifat suka telatmu masih membudaya. Kalau tidak kau pasti kesal menungguku."
Hubungan kami terputus. Dia berjanji meneleponku besok pagi. Dia ingin mengajakku jalan-jalan keliling kota Palembang. Itu artinya aku harus bolos kerja. Tapi demi Iin tak apalah.
* * *
Iin seperti hilang ditelan bumi. Janjinya mengajakku jalan-jalan keliling kota Palembang, tak terlaksana. Dia tak meneleponku. Juga besok-besoknya. Sementara ketika aku berusaha menghubunginya, telepon selularnya selalu berada di luar jangkauan alias mati.
Aku heran, kenapa dia seperti mempermainkanku? Sama seperti dipermainkannya hatiku lima tahun lalu. Jujur saja, kala itu aku memendam suka kepadanya. Bahkan karena unsur suka itulah, aku selalu rela menemaninya ke mana-mana. Suatu waktu, karena tak tahan memendam perasaan di dada, kuutarakan rasa cinta itu.
Ternyata aku tak bertepuk sebelah tangan. Kami mengukir janji sehidup-semati. Tapi apalah yang mau dikata, selain berpacaran denganku, dia juga berpacaran dengan Bim.Â
Aku sakit hati. Tak pernah kutemui lagi dia, sehingga terdengar kabar dia telah pergi ke Jakarta. Dan hubungan kami terputus, sampai dia meneleponku beberapa hari lalu.
* * *
Kami hampir bertabrakan. Beruntung kami sama-sama langsung bisa berhenti, meskipun belanjaannya berhamburan ke trotoar.Â
"Tante Halimah!" Aku tercekat.
"Elang!" Dia menyalamiku.