Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kaleng Biskuit dan Botol Sirop

28 Februari 2019   22:31 Diperbarui: 2 Maret 2019   05:15 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hidup Pak Syaiful! Hidup Pak Maman!" Kerumunan itu tiba-tiba mendatangiku. Menyalami dengan takzim. Mencium punggung tanganku, sehingga kulihat amplop putih mulus, menyembul dari saku baju masing-masing.

"Ada apa ini?" tanyaku bingung.

"Tak ada apa-apa, Pak. Cuma bagi-bagi rejeki. Kami senang Pak Maman memiliki teman orang penting seperti Pak Syaiful. Jadi, apapun alasannya, selama dia teman bapak, kami akan sokong terus. Kami akan memilihnya sewaktu pemilu mendatang," kata seorang lelaki berpeci dengan napas terengah-engah saking gembiranya.

Syaiful memelukku. Direngkuhnya bahuku menuju rumah. Istriku tersenyum bangga. Dia mempertontonkan sebuah amplop bunting di tangannya. Di dalam rumah, Limbong serta belasan teman kekanaknya, duduk lesehan menatap televisi duapuluh satu inchi. 

"Punya kita, Pak. Dari bapak ini, Pak!" jerit Limbong menatapku. Kemudian dia asyik melihat ke layar kaca yang sedang memutar film karton. Alangkah senangnya orang-orang di depanku! 

Aku tersadar telah diperalat oleh Syaiful untuk memperoleh "suara" di daerahku, agar dia terpilih menjadi anggota DPR. Aku ingin berontak, berteriak marah. Tapi tak sanggup lagi.

Orang-orang dekatku, seperti istri, anak dan tetangga, telah termakan pemberiannya. Aku telah terlambat mencegah, setelah tadi siang aku seperti orang bodoh menerima kehadiran Syaiful dan pembantunya. Menerima berkaleng biskuit dan berbotol sirop. 

Seharusnya jauh-jauh hari aku mengikuti perkembangan politik dan pemilu. Biar cepat mengantisipasi kehadiran seorang Syaiful. Namun aku enggan. Aku telah apatis terhadap yang namanya acara pilih-pilihan itu. Sebab ujung-ujungnya tipu muslihat. Permainan uang. Permainan hati nurani.

"Bapak memang hebat! Tanpa membujuk dan merayu keluarga dan masyarakat di sini, semua sudah mendukung saya. Karena saya berteman dengan bapak. Sebenarnya bapaklah yang cocok menjadi pimpinan panutan rakyat." Syaiful tersenyum di balik kebusukannya. Sedangkan aku hanya bisa terduduk lesu.

Aku tak bisa menghindari dosa yang terpampang di depan mata. Aku hanya pasrah. Ternyata, bila dihadapkan langsung dengan kebusukan itu sendiri, rata-rata orang terpaksa ikut arus. Termasuk aku! Tuhan.... Aku hanya dapat malu-malu di hadapan-Mu.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun