Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kaleng Biskuit dan Botol Sirop

28 Februari 2019   22:31 Diperbarui: 2 Maret 2019   05:15 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiba di rumah, kurasakan jantung ini hampir copot. Limbong, anakku, telah berjejer bersama empat orang temannya di dekat meja. Sekaleng biskuit terbuka. Isinya berhamburan. Mulut kekanak itu penuh seperti mulut ikan mas koki.

Sebotol sirop pun telah dibuka. Isinya tinggal seperempat. Sementara istriku yang baru datang dari rumah tetangga, pura-pura membelalak melihat tingkah para kekanak. Tapi kutahu dia kesenangan. Bila sudah ada yang memulai mencicipi makanan dan minuman itu, sudah pasti istriku berharap bisa mengangkutnya ke warung.

Aku hampir marah besar. Sayang, aku ragu-ragu. Bagaimana mungkin aku memarahi Limbong yang berusia enam setengah tahun.

Dia belum tahu apa-apa. Hatinya masih putih-polos. Andaikan dimarah, paling-paling dia hanya menangis. Dan aku tak ingin itu terjadi. Apalagi kalau teman-temannya menuruti. Bisa-bisa, suasana rumahku ramai oleh tangisan para kekanak.

Pilihan terbaik hanyalah merapikan sekaleng biskuit dan sebotol sirop. Sisanya yang masih disegel, kumasukkan ke dalam peti tempat menyimpan beras. Kujejalkan, lalu menggemboknya erat-erat.

 Aku pun mengambil uang di balik lipatan baju di lemari. Kuambil satu stel pakaian. Mengenakannya, kemudian berlalu menuju pasar. Aku mencari-cari biskuit dan sirop yang serupa dengan pemberian Syaiful.

Sayang sekali, aku tak menemukannya. Meskipun hampir sejam mengubek-ubek pasar. Menurut para pedagang, biskuit dan sirop yang kucari berharga mahal. Barang mewah yang hanya dapat ditemukan di super mall. 

Aku kedinginan, padahal udara hangat-hangat kuku. Kulintasi sebuah toko buku, lalu tanpa sengaja melihat potret seorang lelaki yang tertempel di tembok. Aku merasa samar mengenalnya. Ketika membaca nama di bawah potret itu, barulah aku terperanjat. S-y-a-i-f-u-l, demikian aku dapat membacanya.

"Itu calon anggota DPR, Pak!" Seorang lelaki muda mendekat. "Kabarnya dia putra daerah di sini. Tapi aku tak senang kepadanya. Dia senang berpolitik uang."

Dadaku terbakar. Aku bergegas pulang ke rumah. Dan terlihat olehku orang-orang ramai merubung di halamannya. Sebuah mobil yang kuingat pernah singgah di situ tadi siang, serta sebuah pick-up, menjadi tontonan mereka.

Kulihat lelaki tambun disalam-salami. Istriku berdiri di sebelahnya. Berkaleng biskuit dan berbotol sirop dibagi-bagikan, sehingga orang-orang menggapai bagaikan sangat kelaparan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun