Beberapa kaleng biskuit berharga mahal, berjejer di meja yang kecil. Lima botol sirop dengan warna merah cerah, juga meningkahi. Sehingga istriku yang baru pulang dari pasar, membelalak. Dalam benaknya, itu adalah rejeki nomplok. Dia bisa memenuhi warung manisannya dengan pernak-pernik mahal itu.
Segera dia ke dapur menyiapkan dua cangkir kopi dan sepiring panganan, sebab ujung matanya menangkap kehadiran sesosok lelaki berwajah bulat dan bertubuh tambun, duduk di sofa. Sekali-sekali lelaki itu menyeka keringat di dahi yang seperti lapangan bola.
Seorang supir, dan barangkali merangkap pembantu, berulang-ulang pulang-pergi dari mobil di halaman ke ruang tamuku. Dia menggenggam sebuah telepon selular mahal. Berkamera, dengan dering serupa konser.
Aku menjadi sangat risih. Tubuhku menggigil. Pilihan terbaik adalah menyuruh mereka minggat dari rumahku, membawa seluruh biskuit dan sirop itu. Tapi aku tak sanggup. Tamu adalah raja. Dia pembawa berkah dan rejeki. Hanya saja, aku menerka mereka memiliki niat kurang baik. Gelagat keduanya serba sungkan.
Sedangkan istriku yang tak tahan melihat barang-barang mewah dan gratisan, pasti telah bermimpi macam-macam. Aku takut istriku memaksa menerima semua pemberian itu, apapun alasan di belakangnya. Tak perduli mengandung dosa sekalipun. Prinsip istriku, yang penting senang-senang, bisa kenyang.
"Pak Maman, semua barang itu adalah sekedar buah tangan kami. Kami berharap bapak menerimanya. Ya, sebagai permulaan saja lho, Pak! Nanti ada yang lain bila pekerjaan kami berhasil." Akhirnya lelaki bertubuh tambun itu memulai pembicaraan, setelah beberapa menit lalu dia tanpa ba-bi-bu, menerobos ke dalam rumahku seperti benteng.
Pembantunya itu membawa kardus besar, lalu membuka dan membeberkan isinya di atas meja. Pekerjaanku yang sedang menulis soal-soal ujian agama untuk anak didikku di madrasah besok pagi, terpaksa diurungkan sebentar.
Kurapikan kertas dengan hati ngedumel. Tapi di hadapan tamu-tamu itu aku tetap bersikap manis. Sengaja kupertontonkan senyuman khas dari jejeran gigi yang teratur rapi, berwarna putih cemerlang.
Istriku yang keluar dari dalam  dengan nampan berisi dua cangkir kopi, juga sepiring pisang goreng, menghentikanku untuk bertanya kepada lelaki itu. Setelah sang istri menghidangkannya, selanjutnya lenyap di balik pintu, barulah aku bertanya, "Tujuan bapak-bapak ke mari apa?"Â
Lelaki bertubuh tambun itu menggeser kursi mendekatiku. Pembantunya menyeruput kopi. Menghisap sebatang sigaret. Sepotong pisang goreng membuatnya minggat keluar. Duduk di dalam mobil sambil mengunyah-ngunyah sembari berusha memejamkan mata.
"Kenalkan, saya Syaiful," katanya ramah. Kuterima uluran tangannya. Tanganku tenggelam di dalam genggamannya yang besar.