"Aku bisa mampus, tahu!"
* * *
Kampung heboh. Seorang warga menemukan karung plastik berisi potongan tubuh manusia. Banyak yang berspekulasi tentang siapa pelaku pemotongan tubuh atau biasa disebut mutilasi itu. Apa sebenarnya motif pelakunya. Siapa yang dimutilasi. Semua berputar-putar menjadi perbincangan hangat di pasar, kedai-kedai, warung-warung, juga di sungai saat para perempuan membanting-bantingkan pakaian ke batu penggilasan.
Para orangtua kemudian sibuk melarang anaknya agar jangan kelayapan sendirian, apalagi di malam hari. Pendatang yang keluar-masuk ke kampung kami, sering dimatai-matai warga. Siapa tahu mereka adalah pelaku mutilasi itu. Sedangkan pihak kepolisian pusing tujuh keliling.Â
Ketika Saipul menemukan parang bergagang kayu ukiran kepala naga tak jauh dari tempat ditemukannya korban mutilasi itu, kecurigaan warga dan polisi mengerucut kepada sosok Pujal. Bagaimana pun, tidak tanduknya selama ini sangat tak bersahabat. Lagian, kami semua seakan tak sadar telah melupakan lelaki itu. Kami lupa bahwa setelah kejadian menghebohkan itu, batang hidung Pujal tak kelihatan lagi. Di hari kalangan, lapaknya kosong.Â
Ketakutan merajai hati ini. Siapa tahu Pujal masih berkeliaran di sekitar kampung kami. Sewaktu-waktu aku bisa bernasib naas bertemu dia. Dia emosi  tiba-tiba. Dia menggorokku tiba-tiba. Bulu kudukku merinding. Barangkali lebih baik bertemu hantu ketimbang bertemu lelaki itu.
Warga memaki-maki. Semua yang pernah membeli sapi yang dijagal Pajul, mencoba memuntahkan isi perutnya. Mereka takut kalau daging sapi yang telah masuk ke perut mereka sebagian adalah potongan daging manusia.Â
Karena dibalut amarah, warga mengadakan zikir bersama semoga Pujal cepat tertangkap. Atau, biarpun tak tertangkap, ditimpa sial, misal mampus ditabrak truk.
Tapi semua kekesalan dan amarah akhirnya terpangkas, Seorang warga menemukan kepala di pinggir sungai. Kepala itu milik orang yang kami curigai sebagai pelaku mutilasi. Kepala itu milik lelaki yang kutakuti selama ini. Kepala itu kepunyaan Pujal.Â
Entah apa yang menggelenyar di dada kami. Rasa sedih, takut, cemas, bersalah atau kacau amuk. Â Yang jelas, setelah kami mengetahui siapa sebenarnya korban mutilasi itu, tak guna lagi menggibahkan Pujal. Kami malahan mulai merasa kehilangan lapaknya yang hadir setiap hari kalangan.Â
Berminggu-minggu berselang, warga yang hendak berlauk daging sapi terpaksa mencari daging  ke pasar kecamatan. Tentu dengan konsekuensi menghabiskan waktu dan uang lebih banyak ketimbang berbelanja daging ke mendiang lapak Pujal.Â