Darah memercik ketika tangan liat dan kekar lelaki itu menghantamkan parang bergagang kayu ukiran kepala naga ke sebuah kaki berlemak di atas meja. Begitu bengis. Aku membayangkan bagaimana parang itu terhunus ke leherku, tanpa ampun dia menebaskannya. Kepalaku menggelinding. Tubuhku rubuh serupa pohon lapuk. Â Kurasakan telapak tangan ini dingin. Mirza melirik aku sambil mengedikan bahu.
"Mau beli apa?!" Lelaki itu tiba-tiba menerjangkan tatapnya. Seolah dia mencoba menyelusup melalui kornea dan melumat seluruh rongga badanku. Ah, kenapa aku mesti setakut ini? Bukankah dia hanya seorang penjagal? Sama sekali bukan pembunuh!
"Aku mau beli hati sapi setengah kilo saja!"
Mirza menyikut rusukku. Aku mencoba tersenyum. Lelaki itu cekatan memotong hati di meja. Menimbang dan memasukkannya sangat cepat ke kantong plastik. Sepertinya dia buru-buru. Mungkin waktu adalah uang baginya, bukan untuk berleha-leha. Kuambil kantong plastik dari tangannya. lalu menyerahkan perlahan beberapa lembar lima ribuan, yang langsung diserobotnya kasar. Saat kembalian uang telah kugenggam, aku buru-buru mengajak Mirza pulang sebelum kami pingsan di depan lelaki itu.
Sebenarnya kami tak berniat membeli hati sapi di lapak lelaki yang biasa dipanggil dengan sebutan Pujal itu. Tapi mau ke mana lagi membelinya? Di kampung kami, Pujal adalah penjagal sapi satu-satunya. Itu pun lapaknya buka setiap hari kalangan di Sabtu pagi. Kata orang-orang, Pujal orang yang aneh. Dia tak pernah terlihat tertawa atau bersendagurau. Mulutnya selalu cemberut dan gembung serupa ikan buntal. Entah dia berkawan atau tidak, orang-orang pun tiada tahu. Mirza pernah berseloroh, mungkin dia hanya berkawan dengan hantu.
"Kalau bukan karena disuruh emak berbelanja hari ini, aku lebih baik mencuci baju saja di sungai. Biarlah berember-ember kucuci sehingga tenagaku terkuras. Yang penting tak bertemu Pujal."
Mirza tertawa. "Kan ada aku! Siapa lagi yang siap membelamu selain aku? Di mana ada Laila, pasti ada Mirza sebagai jagoannya." Hukkk! Mirza terbungkuk-bungkuk karena pukulan long hook kanan kuhantamkan ke ulu hatinya.Â
Dari dulu lelaki ini memang setia ke mana saja aku pergi. Dia mencintaiku setengah mati. Sementara aku membencinya sepenuh mampus. Tapi bagaimana aku bisa memisahkan diri darinya? Dia pandai mengambil hati emak. Malahan emak pernah berikrar, kelak akan menikahkan aku dengan Mirza. Jelas saja Mirza seolah berjalan di awang-awang. Setiap emosi yang kuarahkan kepadanya, tetap saja dianggap buah dari rasa cinta.Â
Kembali ke masalah Pujal, terkabar dia pernah membantai seeokor kambing yang masuk ke pekarangan rumahnya. Kambing itu kepunyaan Mat Katim. Begitu tahu kalau kambingnya dibunuh Pujal, Mat Katim diam saja. Bagaimana mungkin melawan lelaki temperamen seperti Pujal? Kambing saja sanggup dibantai, apalagi sekadar memiting tangan Mat Katim sampai patah.Â
Robai pun pernah dirawat di puskesmas kecamatan karena kulit bibirnya robek dan kelopak matanya lebam karena dijotos Pujal. Memang asal-muasal terjadi penjotosan itu, karena keisengan Robai menjodoh-jodohkan Pujal dengan Lipah yang berotak miring sedikit itu. Maksud hati sekadar bercanda, tapi dia menanggapi serius.Â
"Eh, bagaimana ya kalau kau bertemu Pujal saat malam gelap gulita?" Mirza tertawa.
"Aku bisa mampus, tahu!"
* * *
Kampung heboh. Seorang warga menemukan karung plastik berisi potongan tubuh manusia. Banyak yang berspekulasi tentang siapa pelaku pemotongan tubuh atau biasa disebut mutilasi itu. Apa sebenarnya motif pelakunya. Siapa yang dimutilasi. Semua berputar-putar menjadi perbincangan hangat di pasar, kedai-kedai, warung-warung, juga di sungai saat para perempuan membanting-bantingkan pakaian ke batu penggilasan.
Para orangtua kemudian sibuk melarang anaknya agar jangan kelayapan sendirian, apalagi di malam hari. Pendatang yang keluar-masuk ke kampung kami, sering dimatai-matai warga. Siapa tahu mereka adalah pelaku mutilasi itu. Sedangkan pihak kepolisian pusing tujuh keliling.Â
Ketika Saipul menemukan parang bergagang kayu ukiran kepala naga tak jauh dari tempat ditemukannya korban mutilasi itu, kecurigaan warga dan polisi mengerucut kepada sosok Pujal. Bagaimana pun, tidak tanduknya selama ini sangat tak bersahabat. Lagian, kami semua seakan tak sadar telah melupakan lelaki itu. Kami lupa bahwa setelah kejadian menghebohkan itu, batang hidung Pujal tak kelihatan lagi. Di hari kalangan, lapaknya kosong.Â
Ketakutan merajai hati ini. Siapa tahu Pujal masih berkeliaran di sekitar kampung kami. Sewaktu-waktu aku bisa bernasib naas bertemu dia. Dia emosi  tiba-tiba. Dia menggorokku tiba-tiba. Bulu kudukku merinding. Barangkali lebih baik bertemu hantu ketimbang bertemu lelaki itu.
Warga memaki-maki. Semua yang pernah membeli sapi yang dijagal Pajul, mencoba memuntahkan isi perutnya. Mereka takut kalau daging sapi yang telah masuk ke perut mereka sebagian adalah potongan daging manusia.Â
Karena dibalut amarah, warga mengadakan zikir bersama semoga Pujal cepat tertangkap. Atau, biarpun tak tertangkap, ditimpa sial, misal mampus ditabrak truk.
Tapi semua kekesalan dan amarah akhirnya terpangkas, Seorang warga menemukan kepala di pinggir sungai. Kepala itu milik orang yang kami curigai sebagai pelaku mutilasi. Kepala itu milik lelaki yang kutakuti selama ini. Kepala itu kepunyaan Pujal.Â
Entah apa yang menggelenyar di dada kami. Rasa sedih, takut, cemas, bersalah atau kacau amuk. Â Yang jelas, setelah kami mengetahui siapa sebenarnya korban mutilasi itu, tak guna lagi menggibahkan Pujal. Kami malahan mulai merasa kehilangan lapaknya yang hadir setiap hari kalangan.Â
Berminggu-minggu berselang, warga yang hendak berlauk daging sapi terpaksa mencari daging  ke pasar kecamatan. Tentu dengan konsekuensi menghabiskan waktu dan uang lebih banyak ketimbang berbelanja daging ke mendiang lapak Pujal.Â
Dua bulan berselang, alhamdulillah ada penjagal baru di bekas lapaknya. Orangnya kurus, berkulit putih, berwajah ramah. Sapa dan senyumnya selalu terlempar kepada setiap orang yang melintas di depan lapaknya. Hanya saja, dia sama sekali tak bisa menandingi kejujuran seorang Pujal. Â Meskipun almarhum itu mahal senyum, berwajah bengis dan temperamen, dia tetap mampu memuaskan pelanggan. Berat daging selalu pas sesuai permintaan. Sapi yang dijagal masih segar. Sungguh kami merasa sangat kehilangan dia. Amat kehilangan!
---sekian----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H