Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pak Tarmudi

23 Februari 2019   22:33 Diperbarui: 23 Februari 2019   22:48 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pagi, Pak Tarmudi!" sapaku seperti biasa kepada lelaki berumur enampuluhan tahun lebih itu, ketika melintas di depan rumahku. Tapi pagi ini mungkin hari yang luar biasa. Dia tak membalas sapaanku, selain ber-ah-uh, tanpa menoleh sekali pun. Ada yang salah pada diriku? Apa sapaanku kurang sopan? Padahal sapaan seperti itu adalah sapaan sama seperti yang keluar dari mulut ini selama sekian tahun kenal dia. Kenapa sekarang lelaki itu begitu asing dan lenyap di pengkolan jalan bagai tak memiliki hati?

Sebelum-sebelumnya dia senang menerima sapaanku. Bahkan dia urung melanjutkan jalan-jalan paginya karena melihat putriku yang berumur tiga tahun sedang bermain bersamaku di halaman depan. Dia bisa betah bersama putriku hingga matahari mulai hangat dan aku harus berangkat kerja. Kalau pun dia akhirnya pulang, itu pun sesudah cucunya menjemput sambil gerutuan panjang-pendek.

Pak Tarmudi memang tak memiliki hubungan khusus dengan keluargaku. Lima tanun lalu ketika pindah rumah ke tempat ini, aku hanya sekilas mengenalnya. Karena menurut tetangga, dia lelaki yang sombong, egois. Aku pun beranggapan sama, pada mulanya. Namun tatkala aku dan keluarga sengaja berkunjung ke rumahnya, ternyata aku salah besar. Dia orang yang baik, malahan teramat baik. Kami menjadi sangat akrab. Apalagi setelah putriku lahir dua tahun kemudian, dia seolah berubah menjadi ayahku. 

Hampir setiap pagi dia betah berlama-lama di rumahku. Lalu pulang saat aku berangkat kerja. Namun saat liburan, dia malahan tinggal sampai jam sepuluh pagi. Biasanya kami mengobrol panjang-pendek tentang kehidupan, tentang keluarga dan anak-anak kami. Atau sekali-sekali bermain catur sambil menikmati kacang rebus dan kopi hangat. Bila ada acara tinju di televisi, kesibukan kami berubah ke situ. Hidangan yang ada di meja pun menjadi berkelas. Jus buah dan mie atau nasi goreng. Ujung-ujungnya keluarganya sering merasa tak enak hati. Mereka takut bapaknya yang mulai pikun itu berbuat onar. Tapi menurutku dia masih normal seperti lelaki umur empatpuluhan tahun.  Hingga sewaktu mereka mencoba memarahinya, aku selalu siap menengahi.

* * *

"Apa kau pernah membuat hati Pak Tarmudi sakit, Mila?" tanyaku kepada istri saat menuju peraduan, dan putriku tetah terlelap di kasurnya.

"Tak pernah, Pa! Memangnya kenapa?" Dia melepaskan ikatan rambutnya sembari rebahan di sebelahku.

"Tak ada apa-apa. Aku hanya heran, kenapa tadi pagi dia seperti orang asing saja. Aku mencoba menyapanya, tapi dia membalas dengan ah-uh. Coba ingat-ingat, pernahkah kau berbuat yang tidak-tidak sehingga dia kesal?" Aku mencoba memutar-mutar otak mencari kesalahan yang kami perbuat terhadap lelaki tua itu.

"Mungkin karena papa tak memberikan oleh-oleh kepadanya sepulang dari Bengkulu tiga hari lalu. Ingat tidak, tetangga sebelah rumah kita memperoleh oleh-oleh itu meski sedikit, sedangkan Pak Tarmudi tidak," jelas istriku.

"O, iya! Jangan-jangan karena itu. Tapi sungguh aku tak ingin menyepelekannya mengenai oleh-oleh itu. Aku enggan mengantarkan ke rumahnya karena harus melewati beberapa rumah. Apa kata tetangga-tetangga yang lain? Aku malu."

"Ya, tapi...."

"Sudahlah! Mungkin saja bukan karena itu. Mungkin sebab lain." jawabku.

Tiba-tiba bel berbunyi. Aku berjalan menuju pintu depan. Aku yakin orang yang memencet bel di luar, adalah mertuaku. Sejak isya tadi, dia memang sudah permisi keluar. Dia berpakain rapi. Kemeja batik, dipadu celana krem. Dia tak mengenakan peci seperti biasanya. Rambutnya disisir rapi, berminyak orang-aring. Hmm, kutebak dia sedang jatuh cinta. Istriku hanya mesem-mesem. Melarang ayahnya, sama saja menghadang banteng. Apalagi sejak dia rada-rada pikun seperti sekarang.

Dia memang sudah hampir seminggu berada di rumahku. Sebelumnya dia tinggal di Jakarta, di rumah Otna, adik istriku. Berhubung ada pertengkaran di antara mereka, akhirnya dia merajuk dan nekad tinggal bersama kami. Pasalnya, ya karena kepikunannya. Dia suka membuat ulah di rumah Otna, bahkan senang merajuk. Sedangkan Otna lagi hamil muda, dan mengidam tak ingin dekat-dekat dengan orang pikun. Ladalah! Ada-ada saja!

Tapi aku senang mertuaku tinggal di sini, meski sering membuat jengkel. Kehadirannya membuatku nyaman bekerja di kantor. Manakala istriku sedang beres-beres rumah, putriku ada yang menemani.

"Darimana, Yah?" tanyaku saat membuka pintu. Dia tersenyum lebar. Tak biasa-biasanya. Apalagi dia sempat menepuk-nepuk punggungku.

Istriku buru-buru menghidangkan kopi hangat dan sepotong roti. Mertuaku itu duduk di sofa, menyicipi hidangan istriku. Dia mengedip-ngedipkan mata. Kala istriku masuk ke kamar karena si kecil menangis, barulah dia buru-buru menarik tubuhku agar duduk di dekatnya. 

Katanya, "Kau kenal Bu Safiatun? Itu tuh... yang tinggal di tikungan jalan sana."

"Ya," jawabku. Aku belum memahami pembicaraannya. 

"Aku barusan dari rumahnya. Ya, sekedar berbincang-bincang. Aku langsung tembak ingin menikahinya. Sepertinya dia setuju. Anak, tempat dia mondok itu, juga setuju. Ketimbang ibunya selalu melamun, katanya, lebih baik dinikahkan denganku saja. Jadi, tolong lamarkan aku kepadanya. Jangan sampai istrimu tahu."

Aku cengengesan. Dia merengut.

Ada-ada saja. Dia membuat jantungku kebat-kebit. Dia bertingkah melebihi anak remaja. Baru berkenalan dengan Safiatun dalam waktu yang sempit, tiba-tiba dia kegatalan ingin menikahinya. Bagaimana pula aku harus merahasiakan ini kepada istri. Yang tahu urusan makan-makan untuk lamaran, atau kue-kue apa yang dibawa, hanya istriku. Aku lelaki yang sama sekali gamang masalah itu.

"Ya, tapi lebih baik memberitahu dia," ucapku membujuk.

"Bagaimana kalau dia tak setuju seperti tabiat adiknya, Otna. Nanti macam-macam yang dikatakannya. Memalukanlah. Merasa tak enak, sudah tua masih kegatelan. Atau, dia protes karena merasa masih mampu mengurusi tubuhku yang renta ini, ketimbang diserahkan ke perempuan lain."

"Dia pasti setuju, Yah!" jawabku.

"Pasti?" 

"Pasti, Yah?" jawabku.

Dia tersenyum. Dia terseok menuju kamar. Sementara aku masuk menemui istriku yang sedang memberi susu si kecil. Kataku, "Ayah ada-ada saja. Tapi itu kemauannya juga, sih! Dia mau menikah lagi." Aku rebahan di kasur. Istriku tertawa. Tak ada raut terkejut di wajahnya. "Kau senang-senang saja, ya!"

"Ya, mau diapakan lagi? Kalau dia maunya begitu, apa bisa kita larang-larang? Nanti dia merajuk pula, lalu hengkang ke rumah Otna." Istriku rebahan di sebelahku. Si kecil tak menangis lagi. "Dengan siapa, Pa?"

"Safiatun!" jawabku. Tak ada reaksi istriku ketika mendengar nama itu. Namun mendadak dia duduk sambil mengangguk-angguk. "Kenapa?" tanyaku.

"Wah, pantas saja Pak Tarmudi berubah, Pa!"

"Memangnya kenapa?"

"Dengar dengar, Pak Tarmudi kan suka sama Bu Safi. Dia pasti kesal karena ayah mendekatinya. Papa ingat tidak, perubahan sikap Pak Tarmudi itu muncul setelah kehadiran ayah."

"Mungkin kau benar!"

* * *

Taman di kota itu sudah ramai sore-sore begini. Matahari merah pecah di atas rerumputan dan rumpun kembang mawar. Puluhan burung layang-layang melintas ke arah utara, setelah dia lelah mencari penghidupan di wilayah selatan. Aku berharap lelaki yang ingin kutemui telah duduk seperti  biasa di bangku taman. Dengan mengenakan topi pet, celana kodorai, kaos oblong yang dilapisi jaket berbenang kasar, lelaki itu akan tersenyum-senyum sendiri seraya membaca buku tebal di tangannya.

Nah, itu dia! Di bangku taman sebelah kananku, lelaki itu tengah menikmati cahaya senja sambil meminum sesuatu dari botol airnya. Dia tak menyadari kedatanganku, kecuali tersentak manakala kutepuk pelan bahunya.

"Pak Tarmudi! Boleh duduk di sini, Pak?" Tanpa menunggu jawaban, aku meletakkan bokong di bangku yang terbuat dari beton dan terasa suam-suam kuku. Kulirik sebentar dia. Sayang dia melengos.

"Pak Tarmudi tak ke rumah saya sore ini?"

"Untuk apa? Membuat sakit hati saja!"

Aku menebak dia sakit terhadap mertuaku. "Bapak tak senang ya dengan kehadiran mertuaku di rumah?" Aku mencoba menjebaknya.

"Ya, aku cemburu kepada si brengsek itu!" ketusnya. O, o.... Kiranya istriku benar. Pak Tarmudi pasti tak senang Safiatun didekati ayah mertua.

"Mohon maaf, Pak! Apa ini berhubungan erat dengan Safiatun?" tanyaku pelan. Dia menatapku seolah hendak mendengus. "Kalau memang oleh sebab itu, biarlah nanti saya membicarakan dengan ayah mertua, supaya dia menjauhi Safiatun."

Dia menghentakkan tongkat ke tanah. Lalu pergi serupa bayu meninggalkanku sendirian dicekam kebingungan. Untuk menetralisir keadaan, segera aku beranjak mendekati penjual lollipop. Kubeli dua bungkus. Satu untuk putriku, satu lagi untuk ayah mertua. Kemudian aku membeli gulai di warung Padang. Istriku sore ini tak masak, karena sejak pagi dia mengikuti kegiatan PKK di kelurahan. Putriku hanya berdua mertuaku di rumah. 

Tapi setiba di depan rumah, alangkah terkejutnya aku melihat mertuaku kelihatan sangat cemas. Kudekati dia sambil meletakkan buah tanganku begitu saja di atas tanah. 

"Ada apa, Yah?" kejarku.

"Itu, cucuku dibawa Pak Tarmudi. Dia malahan memukul tanganku dengan tongkat ketika aku mencoba mempertahanku cucuku itu." Dia terbata-bata.

"Kenapa sampai harus membawa Pipit?" tanyaku menyebut nama putri kesayangku itu. Oh, hatiku mulai tak nyaman.

"Uh, orang yang aneh! Dia cemburu kepadaku," geramnya.

"Cemburu masalah Safiatun, ya?" kejarku lagi.

Dia menggeleng. "Dia merasa aku telah merampas Pipit darinya, cucunya tercinta."

"Haaa?!" Aku bingung mau tertawa atau menangis.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun