"Mungkin kau benar!"
* * *
Taman di kota itu sudah ramai sore-sore begini. Matahari merah pecah di atas rerumputan dan rumpun kembang mawar. Puluhan burung layang-layang melintas ke arah utara, setelah dia lelah mencari penghidupan di wilayah selatan. Aku berharap lelaki yang ingin kutemui telah duduk seperti  biasa di bangku taman. Dengan mengenakan topi pet, celana kodorai, kaos oblong yang dilapisi jaket berbenang kasar, lelaki itu akan tersenyum-senyum sendiri seraya membaca buku tebal di tangannya.
Nah, itu dia! Di bangku taman sebelah kananku, lelaki itu tengah menikmati cahaya senja sambil meminum sesuatu dari botol airnya. Dia tak menyadari kedatanganku, kecuali tersentak manakala kutepuk pelan bahunya.
"Pak Tarmudi! Boleh duduk di sini, Pak?" Tanpa menunggu jawaban, aku meletakkan bokong di bangku yang terbuat dari beton dan terasa suam-suam kuku. Kulirik sebentar dia. Sayang dia melengos.
"Pak Tarmudi tak ke rumah saya sore ini?"
"Untuk apa? Membuat sakit hati saja!"
Aku menebak dia sakit terhadap mertuaku. "Bapak tak senang ya dengan kehadiran mertuaku di rumah?" Aku mencoba menjebaknya.
"Ya, aku cemburu kepada si brengsek itu!" ketusnya. O, o.... Kiranya istriku benar. Pak Tarmudi pasti tak senang Safiatun didekati ayah mertua.
"Mohon maaf, Pak! Apa ini berhubungan erat dengan Safiatun?" tanyaku pelan. Dia menatapku seolah hendak mendengus. "Kalau memang oleh sebab itu, biarlah nanti saya membicarakan dengan ayah mertua, supaya dia menjauhi Safiatun."
Dia menghentakkan tongkat ke tanah. Lalu pergi serupa bayu meninggalkanku sendirian dicekam kebingungan. Untuk menetralisir keadaan, segera aku beranjak mendekati penjual lollipop. Kubeli dua bungkus. Satu untuk putriku, satu lagi untuk ayah mertua. Kemudian aku membeli gulai di warung Padang. Istriku sore ini tak masak, karena sejak pagi dia mengikuti kegiatan PKK di kelurahan. Putriku hanya berdua mertuaku di rumah.Â