"Ya, tapi lebih baik memberitahu dia," ucapku membujuk.
"Bagaimana kalau dia tak setuju seperti tabiat adiknya, Otna. Nanti macam-macam yang dikatakannya. Memalukanlah. Merasa tak enak, sudah tua masih kegatelan. Atau, dia protes karena merasa masih mampu mengurusi tubuhku yang renta ini, ketimbang diserahkan ke perempuan lain."
"Dia pasti setuju, Yah!" jawabku.
"Pasti?"Â
"Pasti, Yah?" jawabku.
Dia tersenyum. Dia terseok menuju kamar. Sementara aku masuk menemui istriku yang sedang memberi susu si kecil. Kataku, "Ayah ada-ada saja. Tapi itu kemauannya juga, sih! Dia mau menikah lagi." Aku rebahan di kasur. Istriku tertawa. Tak ada raut terkejut di wajahnya. "Kau senang-senang saja, ya!"
"Ya, mau diapakan lagi? Kalau dia maunya begitu, apa bisa kita larang-larang? Nanti dia merajuk pula, lalu hengkang ke rumah Otna." Istriku rebahan di sebelahku. Si kecil tak menangis lagi. "Dengan siapa, Pa?"
"Safiatun!" jawabku. Tak ada reaksi istriku ketika mendengar nama itu. Namun mendadak dia duduk sambil mengangguk-angguk. "Kenapa?" tanyaku.
"Wah, pantas saja Pak Tarmudi berubah, Pa!"
"Memangnya kenapa?"
"Dengar dengar, Pak Tarmudi kan suka sama Bu Safi. Dia pasti kesal karena ayah mendekatinya. Papa ingat tidak, perubahan sikap Pak Tarmudi itu muncul setelah kehadiran ayah."