Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pak Tarmudi

23 Februari 2019   22:33 Diperbarui: 23 Februari 2019   22:48 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sudahlah! Mungkin saja bukan karena itu. Mungkin sebab lain." jawabku.

Tiba-tiba bel berbunyi. Aku berjalan menuju pintu depan. Aku yakin orang yang memencet bel di luar, adalah mertuaku. Sejak isya tadi, dia memang sudah permisi keluar. Dia berpakain rapi. Kemeja batik, dipadu celana krem. Dia tak mengenakan peci seperti biasanya. Rambutnya disisir rapi, berminyak orang-aring. Hmm, kutebak dia sedang jatuh cinta. Istriku hanya mesem-mesem. Melarang ayahnya, sama saja menghadang banteng. Apalagi sejak dia rada-rada pikun seperti sekarang.

Dia memang sudah hampir seminggu berada di rumahku. Sebelumnya dia tinggal di Jakarta, di rumah Otna, adik istriku. Berhubung ada pertengkaran di antara mereka, akhirnya dia merajuk dan nekad tinggal bersama kami. Pasalnya, ya karena kepikunannya. Dia suka membuat ulah di rumah Otna, bahkan senang merajuk. Sedangkan Otna lagi hamil muda, dan mengidam tak ingin dekat-dekat dengan orang pikun. Ladalah! Ada-ada saja!

Tapi aku senang mertuaku tinggal di sini, meski sering membuat jengkel. Kehadirannya membuatku nyaman bekerja di kantor. Manakala istriku sedang beres-beres rumah, putriku ada yang menemani.

"Darimana, Yah?" tanyaku saat membuka pintu. Dia tersenyum lebar. Tak biasa-biasanya. Apalagi dia sempat menepuk-nepuk punggungku.

Istriku buru-buru menghidangkan kopi hangat dan sepotong roti. Mertuaku itu duduk di sofa, menyicipi hidangan istriku. Dia mengedip-ngedipkan mata. Kala istriku masuk ke kamar karena si kecil menangis, barulah dia buru-buru menarik tubuhku agar duduk di dekatnya. 

Katanya, "Kau kenal Bu Safiatun? Itu tuh... yang tinggal di tikungan jalan sana."

"Ya," jawabku. Aku belum memahami pembicaraannya. 

"Aku barusan dari rumahnya. Ya, sekedar berbincang-bincang. Aku langsung tembak ingin menikahinya. Sepertinya dia setuju. Anak, tempat dia mondok itu, juga setuju. Ketimbang ibunya selalu melamun, katanya, lebih baik dinikahkan denganku saja. Jadi, tolong lamarkan aku kepadanya. Jangan sampai istrimu tahu."

Aku cengengesan. Dia merengut.

Ada-ada saja. Dia membuat jantungku kebat-kebit. Dia bertingkah melebihi anak remaja. Baru berkenalan dengan Safiatun dalam waktu yang sempit, tiba-tiba dia kegatalan ingin menikahinya. Bagaimana pula aku harus merahasiakan ini kepada istri. Yang tahu urusan makan-makan untuk lamaran, atau kue-kue apa yang dibawa, hanya istriku. Aku lelaki yang sama sekali gamang masalah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun