Lamunku terburai. Angin bercampur hujan menampar-nampar lantai. Sesorang berdiri di ambang pintu. Bukan Ompung, melainkan perempuan yang lebih muda; Kak Hayati.
"Ada apa, Kak?" Hatiku gelisah. Bayang-bayang Ompung menyergap. Aku syak dia mendapat musibah.
"Ompung, Mariam! Tapi kau yang sabar, ya!" katanya. Seorang lelaki menyusul Kak Hayati. Kukenali dia, Bang Naili, sepupu Kak Hayati yang berbadan tinggi besar itu.
"Kenapa dengan Ompung?" Air mataku tumpah.
"Tak ada apa-apa. Ompung hanya mendapat musibah di kebun karet. Sekarang dia sudah dibawa ke rumah sakit kecamatan. Baiklah kau digendong Bang Naili ke rumah. Mungkin sehari-dua barulah Ompung pulang. Sementara menginaplah dulu di rumah kakak."
* * *
Ah, betapa mustajab kabar yang dibawa Kak Hayati. Ompung Lipah sudah dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Aku meminta tolong Kak Hayati mengambilkan sarung tangan hadiah itu dari rumah Ompung Lipah. Tersebab aku masih harus menginap di rumah Kak Hayati, dan mungkin menyusul pula Ompung.
Air muka Kak Hayati terlihat tak sedap. Namun buru-buru dia mengambil sarung tangan itu. Usai benda itu di tanganku, barulah aku menunggu Ompung di teras depan rumah.
Nah, nah, itu dia datang. Ompung melambai. Dia terseok mendekatiku. Mengusap kepalaku dengan tangan kanannya. Sementara sarung tangan yang kusembunyikan di bawah pantat, urung kuserahkan kepada Ompung.
Hatiku lunglai. Ompung telah kehilangan tangan sebelah kiri dari jemari sampai ke pergelangan. Katanya, tangan itu tertimpa batang karet yang tumbang sampai remuk.
Jadi, untuk apalagi menghadiahinya sarung tangan. Hanya akan membuatnya berduka. Biarlah ini kujadikan kenang-kenangan tentang ketulusan cintaku kepadanya.