Ompung Lipah belum pulang. Padahal hari sudah meninggi, meski hujan membalut terang siang. Tapi gelisah ini bukan mutlak karena takut dia merana di luar sana, melainkan ada yang mengikat rinduku pada sepasang sarung tangan yang segera menemui pemiliknya.
Telah selesai aku membuatnya. Tak ada cela, sehingga melihatnya saja seperti menghangati hati yang dingin. Kubayangkan saat-saat Ompung Lipah muncul di ambang pintu. Dia meremas-remas jari-jemarinya yang ngilu. Usai bergulat dengan panci dan perangkat dapur, dia mengopi kepul di hadapanku. Sambil bercerita yang ringan-ringan, sehingga membuatku sangat lapang memberikan sarung tangan itu.
"Aku ingin memberikan sesuatu kepada Ompung," kataku.
"Memberikan apa? Berita tentang lelakimukah?" Selalu itu yang tercampak dari mulutnya demi melihatku segera bersanding dengan lelaki, lalu memberinya cucu.
"Bukan, Ompung. Ini tentang hadiah untuk Ompung. Tak seberapa memang. Tapi cukuplah waktuku terjagal demi menyelesaikannya. Sebagai bukti aku sangat menyayangi Ompung."
"Apa rupanya itu?"
"Jari-jemari tangan Ompung kan sering ngilu."
"Benar itu!"
"Jadi, kubuatkan Ompung sepasang sarung tangan biar jari-jemari Ompung hangat."
Kubayangkan sumringah terpancar di matanya. Dia akan memelukku. Mengenakan sarung tangan itu, dan mengungkapkan sukacitanya atas perjuanganku yang tentu melelahkan.
Krak!