"Oh...," gumamku. "Aku takut bila Ompung mati, habislah orang yang mengurusiku. Mati pulalah aku menyusulnya."
"Kami semua di kampung ini, sangat menyayangimu. Tak akan ada yang tega membiarkanmu sengsara, Mariam!"
Itulah awal Kak Hayati semakin sering bertandang ke rumah Ompung Lipah. Dia membelikanku bergulung benang wol dan beberapa batang jarum jahit besar. Semuanya kusimpan dibawah lapik tempatku tidur. Terlihat menonjol, namun tak mungkin mengundang syakwasangka Ompung. Matanya setengah rabun. Lagian dia kurang acuh terhadap benda-benda yang renik begitu.Â
Ya, ya. Aku ingin sarung tangan itu menjadi hadiah kejutan buat Ompung. Aku ingin melihat air bahagia menetas dari ujung kelopak matanya. Sungguh senangnya, setelah berbilang tahun menjadi benalu, aku memberikannya sesuatu yang berarti. Paling tidak menghangatkan jari-jemari tangannya yang ngilu dan letih memegang arit kecil menyudahi tetesan demi tetesan air getah dari berbatang-batang karet itu.
Maka kusiapkan pagi---manakala Ompung pergi ke Bariba---merajut sarung tangan bersama Kak Hayati. Sukar nian, apalagi tanganku tak mahir. Berulang mata jarum menusuk jerami tanganku. Berulang aku mendesis. Tapi kutahankan, walau Kak Hayati menyuruhku jeda. Niat ini telah bulat, bagaimana pun caranya aku harus menyudahi sarung tangan itu.
Mungkin berkat ketekunan dan niat tulus, aku menjadi mahir. Tak perlu lagi Kak Hayati sering-sering mengajariku. Konon pula, Ompung Lipah tak lagi terlalu lama menderes karet. Jari-jemarinya itu penyebabnya. Dia terpaksa pulang ke rumah jam tujuh pagi. Padahal biasanya, dia pulang jam sepuluh, karena merabai segala macam kerja yang bisa dibuat hepeng.Â
Seperti mencari lidi untuk dibuat sapu. Mencari daun pakis untuk disayur. Membantu menjemur padi orang, atau paling minus bisa saja mengaso sambil berbincang-bincang dengan perempuan-perempuan tua di bagas godang---rumah besar---tempat keturunan raja-raja tinggal. Sambil bersugi atau menyirih, jadilah membuang kesah bersama mereka. Membincangkan kisah-kisah dari yang lara sampai ceria, tentulah menjadi sela hati lebih tenteram.
Ya, ya. Akibatnya aku menyulam sarung tangan di malam hari ketika Ompung sudah tidur. Sengaja kunaikkan sumbu lampu teplok sehingga nyalanya terang, dan mataku bisa awas melihat pergerakan mata jarum jahit agar tak mencederai jemariku.
Kerap juga Ompung terbangun karena batuknya mengulah. Aku pasti buru-buru membuntal pekerjaan dan menyusupkannya di bawah bantal. Biasanya Ompung melongok ke kamarku. Dia pasti mendengus-desau. Keluhnya, "Paompuku----cucuku---ini terlalu capek kiranya, sehingga lampu dibuat bernyanga---bernyala besar. Hmm, semoga dia cepat dewasa dan dipinang lelaki dari seberang." Dia mengecilkan nyala teplok. Menaikkan selimutku yang tersingkap sampai sebatas dada. Mengelus rambutku. Mengecup keningku, sehingga air matanya yang netas, menjangkau ujung ubunku.
* * *
Telah lama rasanya kucing-kucingan dengan Ompung tentang rahasia sarung tangan itu. Telah pula gundah karena tak sampai juga menyudahkannya. Padahal luka teramat banyak menyayat jemari tanganku. Ompung sudah berulangkali memergokiku berbilang malam lupa mengecilkan nyala lampu teplok. Hingga di pagi yang redup, Ompung bertanya, "Kau sangat asing beberapa hari belakangan ini, Mariam. Kenapa?" Dia menyugi. Hidangan nasi, gulai ubi tumbuk dan sambal tuktuk, taklah menyambuk lambungnya. Dia seolah berpantang makan.Â