Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rotan Ayah

13 Februari 2019   14:14 Diperbarui: 13 Februari 2019   14:26 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Rotan Ayah. Membayangkannya saja membuatku merinding. Apalagi Ayah mengancam dengan menggamang-gamangkannya di udara. Bisa-bisa aku terbirit dan mengadu kepada Emak.

Konon rotan itu diwariskan Kakek kepada Ayah. Panjang rotan sekitar lima puluh centimeter. Berwarna kusam saking uzurnya. Bagian ujungnya sudah retak-retak. Karena takut rusak, Ayah mengikatnya dengan karet gelang.

Konon pula rotan itu pernah menjadi benda yang menakutkan di masa kecil Ayah. Tapi setelah berkeluarga dan memiliki Bang Ilyas dan aku, Ayah tetap teguh meneruskan tradisi rotan. Bayangkan bagaimana kalau sekali saja aku lalai shalat, alamat akan dipanggil Ayah ke ruangan yang sehari-harinya dijadikan lumbung padi. Ada sebuah meja dan sebuah kursi di situ. Rotan Ayah sengaja diletakkan di atas meja seakan mengancam. Lalu, cetar, cetar, cetar! Ayah memukulkan rotan ke meja. Ayah marah besar.

"Shalat itu tiang agama. Apabila shalatmu baik, baiklah semuanya. Apabila shalatmu buruk, buruklah semuanya. Apa kau mau menjadi Dajjal? Apa kau mau Ayah terkendala masuk sorga hanya karena anaknya lalai shalat?"

Semarah-marahnya Ayah, rotan itu memang belum pernah singgah di tubuhku. Kecuali di tubuh Bang Ilyas. Suatu malam setelah menonton film silat di tivi, aku dan Bang Ilyas langsung ke peraduan.  Ayah yang tak suka menonton film silat, tiba-tiba masuk ke kamar kami dengan mata melotot. Kami memang sama-sama belum shalat Isya. Kami seperti tikus curut yang berhadapan dengan belasan kucing. Beruntunglah Ayah hanya menyuruh Bang Ilyas menuju gudang. Sementara aku tak digubris sama sekali.

Tapi sungguh malam itu menjadi petaka bagiku. Aku sengaja menguping hukuman Ayah kepada Bang Ilyas. Betapa kudengar Ayah berubah seperti macam mengamuk. Bang Ilyas mengaduh-aduh seiring suara rotan bercetar. Maksud hati hendak mengintip lewat lobang kunci, namun rasa takut telah membuatku memilih bersandar di pintu sambil menangis.

Sejak itu aku mulai kurang senang melihat tingkah Ayah. Masih terngiang terus di telinga ini bagaimana Ayah mencambuk Bang Ilyas. Aku memang telah mencoba melupakannya. Tapi hingga meraih gelar sarjana hukum, aku tetap mengingatnya dan menganggap Ayah telah berlaku kejam. Kendatipun perbuatannya itu telah menempaku tak lagi lalai shalat. Bukankah seringkali kekejaman hanya menghasilkan dendam dan pembangkangan?

Kuingat benar saat aku baru dua bulan menikahi Mariam, Ayah tiba-tiba mengalami sakit keras. Aku dan Mariam yang bekerja di Medan, buru-buru pulang ke kampung. Sehari menjelang sakaratul maut, Ayah memanggil kami semua. Emak, Bang Ilyas, istrinya, aku dan Mariam, mengelilingi pembaringan Ayah. Mata Ayah kelihatan sayu. Hilang sudah kegarangannya saat mengancamku dengan sebatang rotan.

"Ayah hanya ingin meminta maaf kepada kalian, Alif, Ilyas," kata Ayah sambil memegang lemah tanganku. Kurasakan air mata ini menggenang. "Mungkin Ayah telah terlalu kejam kepada kalian.  Ayah tahu masalah rotan itu telah membuat kalian sakit hati. Untuk itu mohon maafkan perbuatan Ayah." Dia terbatuk. Bang Ilyas menyarankan agar Ayah jangan terlalu banyak berbicara. Tapi setelah batuknya reda, Ayah kembali melanjutkan ucapannya.

"Hal yang paling Ayah takutkan di dunia ini hanyalah bagaimana kalau kelak keturunan Ayah lalai mengerjakan shalat. Ingatlah, Alif, Ilyas, shalat itu tiang agama. Jadi, sengaja Ayah mewariskan rotan itu kepadamu, Alif. Agar kau bisa mengajari anakmu bagaimana menyikapi shalat." Dia terbatuk lagi. Emak mengusap-usap kening Ayah yang basah keringat.

"Alif telah memaafkan semua perbuatan Ayah." Kucium keningnya.

Dua hari setelah Ayah meninggal, aku diajak Bang Ilyas berbicara empat mata. "Alif, ini aku serahkan rotan warisan Ayah kepadamu. Dan mohon maafkan aku karena sengaja bersekongkol dengan Ayah untuk mengelabuimu. Kau ingat peristiwa di gudang saat Ayah menghajarku? Itu semua hanya rekayasa. Aku hanya pura-pura mengaduh, sementara Ayah memukuli karung goni. Ayah ingin kau berubah menjadi hamba yang taat menjalankan ibadah shalat."

"Bagaimana dengan Abang? Apakah Ayah tak mewariskan rotan?"

"Ayah telah mewariskan cambuk dari jalinan lidi enau kepadaku!"

* * *

Setelah rotan itu menjadi warisanku, tak pernah sekalipun dia kupergunakan mengancam dua anakku. Aku terlalu sayang kepada mereka. Sebagai kenang-kenangan, rotan itu kemudian kutaruh dalam pigura, dan menggantungkannya di dinding.

Sekali lagi, aku sangat tak setuju berlaku kejam kepada siapapun. Apalagi ditujukan kepada anak dan istriku. Intinya tak boleh sedikitpun terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Karena selain mereka semua adalah buah hati dan cintaku, profesi sebagai pengacara merangkap pekerja di lembaga perlindungan anak, telah memantapkanku berlaku penuh welasasih.

Apa kata orang-orang jika aku mengancam anakku dengan sebatang rotan hanya karena lalai shalat? Tentu saja mereka akan menganggapku tak konsisten menetukan sikap. Di luar aku berkoar-koar tentang perlindungan anak, tapi di dalam rumahku sendiri aku menjadi momok bagi anakku.

Kedua anakku selalu kuberikan wejangan apabila lalai shalat. Bahkan sebagai pemicu kedisiplinan mereka beribadah, sengaja kuberikan iming-iming menggiurkan. Misalnya jika dalam satu bulan shalat mereka penuh, maka kuajak mereka jalan-jalan dan bebas meminta apa saja asal masih kuat di kantongku. Terlebih-lebih jika puasa bulan Ramadhan. Sehari mereka berpuasa, kuimbali uang beberapa ribu rupiah. Begitulah seterusnya hingga mereka remaja dan mulai tak mempan iming-iming.

Aku merasa telah berhasil mendidik anak. Lihatlah nilai-nilai rapor mereka, selalu di atas rata-rata. Tak pernah sekalipun nilai anak-anakku melorot dari tiga besar di kelasnya. Para tetangga maupun wali murid selalu menjadikan kedua anakku menjadi panutan anak mereka. Dan mengenai ibadah kepada Allah, kupikir mereka telah mafhum. Terlalu neko-neko semisal bertanya sudah shalat belum, puasa hari ini apakah batal, tentu saja tak mengena lagi di hati mereka. Mereka sudah besar, dan yang pasti tak ingin didikte terus.

Karena rotan Ayah hanya mengganggu pemandangan di dinding, istriku berinisiatif menggantinya dengan kain kanvas bertuliskan kalam Ilahi. Aku pun setuju-setuju saja. Bahkan ketika istriku menyimpan rotan Ayah di gudang, aku tak memberikan komentar apapun. Aku terlalu sibuk menyusun berkas-berkas pembelaan terhadap seorang terdakwa anak-anak di pengadilan.

Setelah kedua anakku dewasa dan menikah, rotan Ayah sama sekali hilang dalam ingatanku. Sudah dua kali kami pindah rumah, dan selama itu kata rotan tak ada dalam daftar barang-barang yang harus dipak.

"Bagaimana kalau besok kita berkunjung ke rumah Anton dan Wildan," usul istriku ketika kami duduk bersantai di teras menikmati senja dengan dua cangkir teh dan sepiring kecil pisang rebus. Rumah Anton dan Wildan memang bersebelahan. Jadi, kalau kami berkunjung ke rumah si sulung Anton, pastilah sekalian melongok ke rumah Wildan. Sehari menginap di rumah Anton. Sehari menginap di rumah Wildan. Begitulah, kami rasakan betapa senang mempunyai anak-anak yang sukses dan tak menyusahkan orang tua. Anton menjabat bagian keuangan di dirjen pajak, sedangkan Wildan menjadi wakil direktur sebuah perusahaan kontraktor ternama.

"Kalau begitu kita telepon dulu mereka!" Aku juga mulai merasa kangen kepada keduanya, teristimewa kepada cucu-cucuku. Sudah hampir tiga bulan kami tak bertemu karena mereka nun jauh di kota Jakarta.

"Tak usahlah menelepon-nelepon segala. Bisa menyusahkan mereka. Sekalian saja kita buat kejutan. Besok aku mau menyuruh si Bibik masak rendang kesukaan Anton, juga pepes ikan mas untuk Wildan. Bagaimana, Pak?"

"Suka-sukamulah, Bu. Aku nurut saja." Kuberikan dia senyuman termanis yang tercipta di wajahku yang mulai keriput.

* * *

Menjelang senja aku dan istri tiba di Jakarta. Langit lumayan mendung, tapi tak menunjukkan hujan akan segera turun. Seorang supir taksi yang ngotot menawarkan jasanya sejak kami keluar dari bandara, masih saja mengekor. Istriku akhirnya jatuh kasihan, lalu kami menaiki mobil supir taksi yang banyak cerita itu.

Kami sebentar singgah di sebuah rumah makan Melayu karena tak ingin menyusahkan istri Anton. Bagaimanapun kami berkunjung tanpa memberitahu lebih dulu. Mereka tentu tak memiliki persiapan, semisal hidangan makan malam.

"Ongkosnya nambah, Bu! Tak sesuai argo lagi," ucap supir taksi memberi aba-aba.

"Tak apa-apa. Tunggu kami membeli nasi kotak dulu. Nanti kuberikan tambahannya." Istriku tersenyum.

Persis azan Maghrib, taksi akhirnya tiba di depan rumah Anton. Seorang satpam yang sudah hapal wajah kami, langsung mempersilahkan masuk. Beberapa nasi kotak yang kami beli di rumah makan Melayu, langsung diambil-alih satpam dari tangan si supir taksi.

Di pintu depan rumah, tiba-tiba aku langsung terpaku. Terdengar suara hingar-bingar musik dari dalam. Ada apa ini? Bukankah azan Maghrib sedang berkumandang? Mengapa mereka yang di dalam rumah belum bersiap-siap melaksanakan ibadah shalat Maghrib? Wajahku panas. Istri yang tahu aku mulai emosi, menepuk-nepuk punggung tanganku, menenangkan.

Setelah kupencet bel tiga kali, seraut wajah gugup langsung muncul di balik pintu. "Ayah, Ibu. Kok datang-datang tak memberitahu dulu!"

"Tak perlu, Anton! Kau belum siap-siap shalat Maghrib?" cecarku. Anton berusaha menahan langkahku yang bergegas menuju sumber hingar-bingar itu. Lekas saja kutepis tubuhnya.

Masya Allah! Mataku terbelalak melihat beberapa lelaki-perempuan sedang duduk bermain kartu di ruang tengah rumah. Kulihat Wildan juga ada, istrinya, istri Anton dan beberapa lelaki yang tak kukenal, dan beberapa perempuan yang mempermalukan dirinya dengan mempertontonkan aurat.

"Wildan!" jeritku. Si bungsu itu terbelalak. Anton menyabarkanku. Dengan gugup dia mengatakan bahwa mereka adalah rekan-rekan bisnisnya. Mereka sedang kumpul untuk merayakan keberhasilan sebuah proyek.

Tubuhku langsung lemas. Ternyata apa yang kupebuat selama ini kepada anak-anakku, salah besar. Mereka telah mendustaiku taat beribadah. Tahu-tahunya, ini apa? Aku teringat rotan Ayah. Entah di mana benda itu sekarang. Ternyata pendidikan agama yang diterapkan Ayah yang terkadang seperti terlihat kejam, lebih mempan membentuk sifat taat anak-anaknya ketimbang pendidikan yang kuterapkan karena menimbang berbagai hal tentang hak asazi manusia. Tentang jiwa welasasih.

Mulutku tiba-tiba mencetuskan kata ini, "Bu, rotan Ayah kau taruh di mana?"

Istriku tak menjawab. Sementara kedua anakku hanya tertunduk malu.

---sekian----

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun