"Bagaimana kalau besok kita berkunjung ke rumah Anton dan Wildan," usul istriku ketika kami duduk bersantai di teras menikmati senja dengan dua cangkir teh dan sepiring kecil pisang rebus. Rumah Anton dan Wildan memang bersebelahan. Jadi, kalau kami berkunjung ke rumah si sulung Anton, pastilah sekalian melongok ke rumah Wildan. Sehari menginap di rumah Anton. Sehari menginap di rumah Wildan. Begitulah, kami rasakan betapa senang mempunyai anak-anak yang sukses dan tak menyusahkan orang tua. Anton menjabat bagian keuangan di dirjen pajak, sedangkan Wildan menjadi wakil direktur sebuah perusahaan kontraktor ternama.
"Kalau begitu kita telepon dulu mereka!" Aku juga mulai merasa kangen kepada keduanya, teristimewa kepada cucu-cucuku. Sudah hampir tiga bulan kami tak bertemu karena mereka nun jauh di kota Jakarta.
"Tak usahlah menelepon-nelepon segala. Bisa menyusahkan mereka. Sekalian saja kita buat kejutan. Besok aku mau menyuruh si Bibik masak rendang kesukaan Anton, juga pepes ikan mas untuk Wildan. Bagaimana, Pak?"
"Suka-sukamulah, Bu. Aku nurut saja." Kuberikan dia senyuman termanis yang tercipta di wajahku yang mulai keriput.
* * *
Menjelang senja aku dan istri tiba di Jakarta. Langit lumayan mendung, tapi tak menunjukkan hujan akan segera turun. Seorang supir taksi yang ngotot menawarkan jasanya sejak kami keluar dari bandara, masih saja mengekor. Istriku akhirnya jatuh kasihan, lalu kami menaiki mobil supir taksi yang banyak cerita itu.
Kami sebentar singgah di sebuah rumah makan Melayu karena tak ingin menyusahkan istri Anton. Bagaimanapun kami berkunjung tanpa memberitahu lebih dulu. Mereka tentu tak memiliki persiapan, semisal hidangan makan malam.
"Ongkosnya nambah, Bu! Tak sesuai argo lagi," ucap supir taksi memberi aba-aba.
"Tak apa-apa. Tunggu kami membeli nasi kotak dulu. Nanti kuberikan tambahannya." Istriku tersenyum.
Persis azan Maghrib, taksi akhirnya tiba di depan rumah Anton. Seorang satpam yang sudah hapal wajah kami, langsung mempersilahkan masuk. Beberapa nasi kotak yang kami beli di rumah makan Melayu, langsung diambil-alih satpam dari tangan si supir taksi.
Di pintu depan rumah, tiba-tiba aku langsung terpaku. Terdengar suara hingar-bingar musik dari dalam. Ada apa ini? Bukankah azan Maghrib sedang berkumandang? Mengapa mereka yang di dalam rumah belum bersiap-siap melaksanakan ibadah shalat Maghrib? Wajahku panas. Istri yang tahu aku mulai emosi, menepuk-nepuk punggung tanganku, menenangkan.