Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rotan Ayah

13 Februari 2019   14:14 Diperbarui: 13 Februari 2019   14:26 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

"Bagaimana kalau besok kita berkunjung ke rumah Anton dan Wildan," usul istriku ketika kami duduk bersantai di teras menikmati senja dengan dua cangkir teh dan sepiring kecil pisang rebus. Rumah Anton dan Wildan memang bersebelahan. Jadi, kalau kami berkunjung ke rumah si sulung Anton, pastilah sekalian melongok ke rumah Wildan. Sehari menginap di rumah Anton. Sehari menginap di rumah Wildan. Begitulah, kami rasakan betapa senang mempunyai anak-anak yang sukses dan tak menyusahkan orang tua. Anton menjabat bagian keuangan di dirjen pajak, sedangkan Wildan menjadi wakil direktur sebuah perusahaan kontraktor ternama.

"Kalau begitu kita telepon dulu mereka!" Aku juga mulai merasa kangen kepada keduanya, teristimewa kepada cucu-cucuku. Sudah hampir tiga bulan kami tak bertemu karena mereka nun jauh di kota Jakarta.

"Tak usahlah menelepon-nelepon segala. Bisa menyusahkan mereka. Sekalian saja kita buat kejutan. Besok aku mau menyuruh si Bibik masak rendang kesukaan Anton, juga pepes ikan mas untuk Wildan. Bagaimana, Pak?"

"Suka-sukamulah, Bu. Aku nurut saja." Kuberikan dia senyuman termanis yang tercipta di wajahku yang mulai keriput.

* * *

Menjelang senja aku dan istri tiba di Jakarta. Langit lumayan mendung, tapi tak menunjukkan hujan akan segera turun. Seorang supir taksi yang ngotot menawarkan jasanya sejak kami keluar dari bandara, masih saja mengekor. Istriku akhirnya jatuh kasihan, lalu kami menaiki mobil supir taksi yang banyak cerita itu.

Kami sebentar singgah di sebuah rumah makan Melayu karena tak ingin menyusahkan istri Anton. Bagaimanapun kami berkunjung tanpa memberitahu lebih dulu. Mereka tentu tak memiliki persiapan, semisal hidangan makan malam.

"Ongkosnya nambah, Bu! Tak sesuai argo lagi," ucap supir taksi memberi aba-aba.

"Tak apa-apa. Tunggu kami membeli nasi kotak dulu. Nanti kuberikan tambahannya." Istriku tersenyum.

Persis azan Maghrib, taksi akhirnya tiba di depan rumah Anton. Seorang satpam yang sudah hapal wajah kami, langsung mempersilahkan masuk. Beberapa nasi kotak yang kami beli di rumah makan Melayu, langsung diambil-alih satpam dari tangan si supir taksi.

Di pintu depan rumah, tiba-tiba aku langsung terpaku. Terdengar suara hingar-bingar musik dari dalam. Ada apa ini? Bukankah azan Maghrib sedang berkumandang? Mengapa mereka yang di dalam rumah belum bersiap-siap melaksanakan ibadah shalat Maghrib? Wajahku panas. Istri yang tahu aku mulai emosi, menepuk-nepuk punggung tanganku, menenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun