Setelah kupencet bel tiga kali, seraut wajah gugup langsung muncul di balik pintu. "Ayah, Ibu. Kok datang-datang tak memberitahu dulu!"
"Tak perlu, Anton! Kau belum siap-siap shalat Maghrib?" cecarku. Anton berusaha menahan langkahku yang bergegas menuju sumber hingar-bingar itu. Lekas saja kutepis tubuhnya.
Masya Allah! Mataku terbelalak melihat beberapa lelaki-perempuan sedang duduk bermain kartu di ruang tengah rumah. Kulihat Wildan juga ada, istrinya, istri Anton dan beberapa lelaki yang tak kukenal, dan beberapa perempuan yang mempermalukan dirinya dengan mempertontonkan aurat.
"Wildan!" jeritku. Si bungsu itu terbelalak. Anton menyabarkanku. Dengan gugup dia mengatakan bahwa mereka adalah rekan-rekan bisnisnya. Mereka sedang kumpul untuk merayakan keberhasilan sebuah proyek.
Tubuhku langsung lemas. Ternyata apa yang kupebuat selama ini kepada anak-anakku, salah besar. Mereka telah mendustaiku taat beribadah. Tahu-tahunya, ini apa? Aku teringat rotan Ayah. Entah di mana benda itu sekarang. Ternyata pendidikan agama yang diterapkan Ayah yang terkadang seperti terlihat kejam, lebih mempan membentuk sifat taat anak-anaknya ketimbang pendidikan yang kuterapkan karena menimbang berbagai hal tentang hak asazi manusia. Tentang jiwa welasasih.
Mulutku tiba-tiba mencetuskan kata ini, "Bu, rotan Ayah kau taruh di mana?"
Istriku tak menjawab. Sementara kedua anakku hanya tertunduk malu.
---sekian----