Dua hari setelah Ayah meninggal, aku diajak Bang Ilyas berbicara empat mata. "Alif, ini aku serahkan rotan warisan Ayah kepadamu. Dan mohon maafkan aku karena sengaja bersekongkol dengan Ayah untuk mengelabuimu. Kau ingat peristiwa di gudang saat Ayah menghajarku? Itu semua hanya rekayasa. Aku hanya pura-pura mengaduh, sementara Ayah memukuli karung goni. Ayah ingin kau berubah menjadi hamba yang taat menjalankan ibadah shalat."
"Bagaimana dengan Abang? Apakah Ayah tak mewariskan rotan?"
"Ayah telah mewariskan cambuk dari jalinan lidi enau kepadaku!"
* * *
Setelah rotan itu menjadi warisanku, tak pernah sekalipun dia kupergunakan mengancam dua anakku. Aku terlalu sayang kepada mereka. Sebagai kenang-kenangan, rotan itu kemudian kutaruh dalam pigura, dan menggantungkannya di dinding.
Sekali lagi, aku sangat tak setuju berlaku kejam kepada siapapun. Apalagi ditujukan kepada anak dan istriku. Intinya tak boleh sedikitpun terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Karena selain mereka semua adalah buah hati dan cintaku, profesi sebagai pengacara merangkap pekerja di lembaga perlindungan anak, telah memantapkanku berlaku penuh welasasih.
Apa kata orang-orang jika aku mengancam anakku dengan sebatang rotan hanya karena lalai shalat? Tentu saja mereka akan menganggapku tak konsisten menetukan sikap. Di luar aku berkoar-koar tentang perlindungan anak, tapi di dalam rumahku sendiri aku menjadi momok bagi anakku.
Kedua anakku selalu kuberikan wejangan apabila lalai shalat. Bahkan sebagai pemicu kedisiplinan mereka beribadah, sengaja kuberikan iming-iming menggiurkan. Misalnya jika dalam satu bulan shalat mereka penuh, maka kuajak mereka jalan-jalan dan bebas meminta apa saja asal masih kuat di kantongku. Terlebih-lebih jika puasa bulan Ramadhan. Sehari mereka berpuasa, kuimbali uang beberapa ribu rupiah. Begitulah seterusnya hingga mereka remaja dan mulai tak mempan iming-iming.
Aku merasa telah berhasil mendidik anak. Lihatlah nilai-nilai rapor mereka, selalu di atas rata-rata. Tak pernah sekalipun nilai anak-anakku melorot dari tiga besar di kelasnya. Para tetangga maupun wali murid selalu menjadikan kedua anakku menjadi panutan anak mereka. Dan mengenai ibadah kepada Allah, kupikir mereka telah mafhum. Terlalu neko-neko semisal bertanya sudah shalat belum, puasa hari ini apakah batal, tentu saja tak mengena lagi di hati mereka. Mereka sudah besar, dan yang pasti tak ingin didikte terus.
Karena rotan Ayah hanya mengganggu pemandangan di dinding, istriku berinisiatif menggantinya dengan kain kanvas bertuliskan kalam Ilahi. Aku pun setuju-setuju saja. Bahkan ketika istriku menyimpan rotan Ayah di gudang, aku tak memberikan komentar apapun. Aku terlalu sibuk menyusun berkas-berkas pembelaan terhadap seorang terdakwa anak-anak di pengadilan.
Setelah kedua anakku dewasa dan menikah, rotan Ayah sama sekali hilang dalam ingatanku. Sudah dua kali kami pindah rumah, dan selama itu kata rotan tak ada dalam daftar barang-barang yang harus dipak.