Asih mengenalkanku kepada perempuan itu. Perempuan itu tersenyum sedikit terpaksa.Â
"Kami sudah saling mengenal," kataku.
"Oh, syukurlah. Dia Zulkaidah putriku satu-satunya."
"Putrimu?" Aku terbelalak. Aku tak sadar ketika kemudian perempuan itu seakan menyeret ibunya menjauh dariku. Ingin kupanggil mereka. Tapi mereka sudah masuk ke dalam angkutan kota dan berlalu seperti bayu.
* * *
Zulkadiah, Asih. Mamot, combro. Ah! Pikiranku tak tenang. Ada rasa bersalah berkelindan. Begitu lambat rasanya jam bergulir. Malam pun sangat pelan merajut terang.Â
Pukul delapan pagi, aku sudah siap-siap di teras. Menunggu seorang perempuan berdiri di ambang pintu pagar, dengan senyum ramahnya, dengan nampan penuh combro.
Sejam lebih sudah menunggu. Tak ada tanda-tanda Zulkaidah akan datang. Aku celingak-celinguk. Bodoh, kenapa aku sampai menggelarinya Mamot? Kenapa aku tak pernah mencicip sedikit saja combro jajaannya?Â
"Sedang apa, Pak? Tumben pagi-pagi masih betah di teras. Sedang menunggu Zulkaidah, ya?" Istriku muncul dari dalam rumah. Dia tersenyum menggoda.
"Ah, hanya ingin menikmati hangatnya pagi, kok," dustaku.
* * *