Segera kuhentikan membaca buku Chicken Soup for The Soul dan mengecilkan volume radio. Telepon selular yang berbunyi nyaring sekian detik lalu, pun kuangkat. Tertera nomor tidak terdaftar di layarnya. Dengan malas-malasan aku mengucapkan kata "hallo" kepada orang kurangajar di seberang. Jam sebelas malam masih meneleponku? Orang yang tak mempunyai perasaan!
"Rahman, ya? Sorry, malam-malam mengganggu. Kira-kira, kamu bisa meminjamiku uang sekitar lima juta, tidak? Aku perlu untuk membayar dp operasi ginjal anakku. Tolonglah, Cuma kamu yang bisa membantu. Kalau memang ada uangnya, pagi-pagi kujemput ke rumahmu."
Brengsek! Sudah mengganggu istirahat orang, dia malahan menambah pikiran. Meminjam uang? Apa dipikirnya aku ini bank berjalan? Lagipula, siapa sih dia?
"Oh, Maaf. Aku Hardi, teman sekantor kamu dulu," jawabnya seolah mengetahui jalan pikiranku.
Kuingat-ingat mantan teman sekantorku. Hardi, Hardi.... Ha, aku ingat dia! Dia adalah  bekas supervisorku. Mungkin jabatannya sekarang masih itu-itu saja. Beruntung aku cepat-cepat mengambil keputusan, berhenti kerja di kantor itu, kemudian memulai usaha sendiri.
Ternyata garis tanganku bagus. Aku sukses. Penghasilanku sebulan hampir mencapai delapan juta. Jadi, bila dipinjamkan ke si Hardi lima juta, uangku masih bersisa tiga juta. Cukuplah untuk biaya hidup sebulan bertiga istri dan anakku yang beranjak remaja.
Tapi tunggu dulu, kalau dipikir-pikir alangkah enaknya dia. Kupinjami uang, pasti tanpa bunga. Entah kapan bisa membayarnya, tak jelas. Bisa-bisa modal usahaku mati lima juta sama dia. Sekali lagi enak betul! Lagipula, bila lima juta kuberikan kepadanya, darimana lagi uangku untuk modal berjudi dengan teman-teman sebisnis? Kemudian mengencani Ratna yang bahenol, pelacur lokalisasi ternama itu.
"Bagaimana, Rahman?"
Dengas tegas kujawab, "Tidak!" Tanpa menunggu balasan dari Hardi, langsung kumatikan telepon sebenar-benar mati. Artinya, powernya ku-off-kan.
"Siapa, Mas?" Istriku tiba-tiba bangun. Dia mengucek-ngucek mata sambil berdiri. Dia berjalan ke meja, lalu meminum segelas air dingin sampai habis. Kemudian menatapku meminta jawaban.
"Biasa! Si Hardi. Mantan teman sekantorku. Dia mau meminjam uang lima juta. Kujawab saja tak ada," gerutuku seraya bersiap-siap tidur.
"Kalau memang perlu, pinjamkan saja. Membantu orang yang kesusahan, besar pahalanya, Mas. Lagipula, itu semakin memperlancar rejeki kita." Istriku memberikan wejangan.
Kujawab, "Enak saja!" Dan semua hening seiring suara dengkur yang sengaja kubuat-buat, agar istriku tak memperpanjang pertengkaran.
* * *
Sepulang kerja, mendadak dadaku sangat sakit. Seperti dipilin-pilin, sehingga rahangku ikut-ikutan ngilu. Keringat dingin membanjir. Sepiring nasi-sop yang telah kuhabiskan, seketika meletus di mulut. Tumpah ke lantai, bersamaan istriku berteriak histeris. Dia mengurut-urut tengkukku sampai seluruh isi perut ini menggenangi lantai. Baunya busuk, sehingga aku sendiri tak tahan menciumnya.
"Kenapa, Mas?" Istriku kelabakan. Anehnya, ketika ingin menjawab, suaraku seolah tertelan di perut. Napasku menggapai-gapai, tapi tak memiliki rima. Terdengar olehku, yang keluar dari mulut ini hanya dengung serupa bunyi lebah. "Kita ke dokter Thamrin saja," kata istriku cepat.
Dibantu supir, akhirnya kami sampai di sebuah klinik penyakit dalam. Tertera di papan nama bebarapa kata; dr. Thamrin spesialis penyakit dalam, praktek jam 16.00-19.00 WIB. Oh, aku benar-benar beruntung. Baru kali ini aku bersyukur hendak bertemu dokter. Padahal biasanya hanya kebencian yang mendera batin ini terhadap sebaris profesi itu.
Sebab aku melihat, hidup dokter sangat nikmat. Hanya nongkrong di rumah atau klinik, pasien datang berbondong mengangsurkan uang. Tanpa ada nego, tanpa ada diskon. Berapapun nominal yang diucapkannya, pasti pasien menyanggupi. Berbeda betul dengan pebisnis sepertiku. Belum mendapatkan proyek, harus nego-nego dulu, mengasih diskon bahkan pelicin yang sangat cepat mengoyak kocek ini.
Masuk ke ruangan putih-bersih, aku dihadapkan kepada seorang lelaki yang menurutku tak pantas menjabat sebagai dokter. Dia cocok sebagai orang pintar, atau paling tidak ustadz. Dia lelaki berpakaian gamis. Memakai topi haji. Sementara kumisnya dicukur habis.
Jenggotnya panjang melebihi jenggot kambing. Tapi satu yang membuatku harus lebih sering tertunduk di hadapannya. Matanya setajam silet seperti menghukumku. Senyumnya seolah sinis. Padahal kutahu, itu hanya perasaanku saja. Buktinya, istriku mengobrol hangat dengannya.
"Pak Rahman tak terkena penyakit apa-apa," katanya menenangkanku.
"Bagaimana mungkin, Dok? Apa dia terkena serangan jantung? Soalnya dari tadi suamiku ini memegang dadanya terus-menerus," sela istriku. Aku mengangguk-angguk setuju. Untuk berbicara, aku masih belum bisa. Aku berubah menjadi si bisu.
"Mungkin ini hanya teguran saja, Bu!" jawabnya. Dia menarik napas dalam-dalam. "Percuma saja dia kuberi obat paten. Sebab bukan jasmaninya yang diserang penyakit. Melainkan rohaninya." Si dokter bertambah membuatku bingung.
Dia hanya tersenyum. Dia masuk ke dalam bilik kecil, lalu keluar lagi sambil berkata, "Bapak mungkin pernah mengecewakan seseorang yang sangat butuh pertolongan. Padahal Bapak sangat berdaya membantunya. Tapi karena sifat medit, akhirnya permintaan orang tersebut ditolak mentah-mentah. Tentu hatinya sangat hancur. Dia sangat kecewa, sehingga kekecewaannya itu berbalas kepada Bapak. Intinya, Bapak sakit."
Selintas bayang-bayang Hardi mengejarku. Apakah dia mendoakan supaya aku celaka karena tak meminjami duit? Brengsek benar dia.
"Maaf Bapak. Orang yang dikecewakan itu, tak perlu mendoakan agar Bapak sakit. Tapi Tuhan-lah yang turun-tangan menyelesaikannya." Dokter Thamrin dapat membaca pikiranku.
Istriku buru-buru berkata, "Benar, Dok. Tadi malam, teman Mas Rahman memang ada menelepon. Dia mau meninjam uang lima juta. Tapi suami saya ini tak memberi. Mungkinkah itu penyebabnya?"
"Anda benar! Jadi, sebelum uang lima juta diberikan, Bapak akan sakit dan semakin sakit. Sekarang, pulanglah dulu. Berikanlah uang sejumlah permintaan teman Bapak itu."
Kekesalanku mengubun. Meskipun si dokter tak mau dibayar atas konsultasinya tadi, tapi menurutku dia orang yang brengsek. Enak saja dia mengatur-atur orang supaya meminjamkan uang kepada yang butuh itu. Memang dia siapa? Apa dia yang menggajiku? Apa uang-uangku berasal darinya? Tidak bisa! Lebih baik sakit begini.
Mendadak sesampai di rumah, kakiku berdenyut bukan kepalang. Aku seketika tak bisa berjalan. Tubuhku terjerembab, dan napasku satu-satu. Perlahan-lahan jempolku terasa dingin dan kaku. Kemudian menjalar ke betis, ke lutut, ke paha, selangkangan, perut, dada, oh... Tuhan. Apakah nyawaku akan dicabut?
Cepat-cepat istriku mengambil uang lima juta di lemari. Cepat-cepat ditanyanya kepadaku alamat si Hardi. Namun sebelum semua terlaksana, pandanganku gelap. Lalu aku sekonyong terbangun dari tidur dengan tubuh bersimbah keringat. Istriku yang baru selesai mandi, sampai memucat melihatku.
"Kenapa, Mas?"
"Aku, aku mimpi buruk. Aku terkena penyakit aneh, sebab tak meminjami uang kepada si Hardi." Kesetanan kucari nomor telepon si Hardi di telepon selularku. Sayang, ternyata tak bisa ditemukan lagi. Aku telah menghapusnya.
Bergegas kuambil buku agenda, mencari-cari alamat temanku. Hardi, Hardi... Uh, dimana sih alamat rumahmu?
Aku sangat takut kalau-kalau kejadian di mimpiku barusan, akan menimpaku dalam waktu dekat. Dan aku mati, meninggalkan kekayaan, istri yang cantik dan anak yang dicinta. Tidak, ini tak boleh terjadi!
Istriku masih kebingungan. Namun aku harus bergerak cepat. Beruntung alamat si Hardi kutemukan; Jalan Enggang Nomor 88. Uang lima juta di lemari langsung kuambil. Sopir kupanggil, lalu meluncur ke alamat tersebut.
Lumayan susah mencarinya. Harus bertanya kepada beberapa orang yang kami temui di jalan. Harus melewati beberapa lorong sempit dan kubangan air. Ah, ini salahku. Meskipun memiliki banyak teman, tapi aku paling anti berkunjung ke rumah mereka. Akibatnya, sekarang aku blingsatan mencari salah satu alamat temanku.
Beruntung setelah perjuangan melelahkan, kutemukan rumah Hardi di ujung jalan tanah. Rumahnya beratap seng yang disusun tak beraturan. Beberapa anak kecil tanpa baju, asyik bermain mobil-mobilan di halamannya yang becek. Kulihat seorang anak yang mirip Hardi duduk di bangku panjang depan rumah. Mungkin dia anaknya yang sakit itu, dan sudah mulai sembuh.
"Mas Hardi ada?" tanyaku ramah.
"Oh, Ayah...." Dia menoleh ke dalam rumah. "Sudah pergi duluan, Pak."
"Ke rumah sakit?" lanjutku.
"Bukan. Ke kuburan, Pak. Adikku yang kemarin dirawat di rumah sakit, sudah meninggal. Ayah tak punya uang untuk biaya operasinya. Jadi, adik kami bawa pulang ke rumah. Â Tapi tak lama, dia langsung meninggal," jawabnya sambil meneteskan airmata.
Seketika dadaku seperti ditusuk ribuan jarum. Aku terjerembab ke tanah sambil memeluk uang lima juta di dalam amplop. "Tuhan, Engkau telah memberiku sebuah pelajaran," batinku penuh penyesalan.
 ---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H