"Kalau memang perlu, pinjamkan saja. Membantu orang yang kesusahan, besar pahalanya, Mas. Lagipula, itu semakin memperlancar rejeki kita." Istriku memberikan wejangan.
Kujawab, "Enak saja!" Dan semua hening seiring suara dengkur yang sengaja kubuat-buat, agar istriku tak memperpanjang pertengkaran.
* * *
Sepulang kerja, mendadak dadaku sangat sakit. Seperti dipilin-pilin, sehingga rahangku ikut-ikutan ngilu. Keringat dingin membanjir. Sepiring nasi-sop yang telah kuhabiskan, seketika meletus di mulut. Tumpah ke lantai, bersamaan istriku berteriak histeris. Dia mengurut-urut tengkukku sampai seluruh isi perut ini menggenangi lantai. Baunya busuk, sehingga aku sendiri tak tahan menciumnya.
"Kenapa, Mas?" Istriku kelabakan. Anehnya, ketika ingin menjawab, suaraku seolah tertelan di perut. Napasku menggapai-gapai, tapi tak memiliki rima. Terdengar olehku, yang keluar dari mulut ini hanya dengung serupa bunyi lebah. "Kita ke dokter Thamrin saja," kata istriku cepat.
Dibantu supir, akhirnya kami sampai di sebuah klinik penyakit dalam. Tertera di papan nama bebarapa kata; dr. Thamrin spesialis penyakit dalam, praktek jam 16.00-19.00 WIB. Oh, aku benar-benar beruntung. Baru kali ini aku bersyukur hendak bertemu dokter. Padahal biasanya hanya kebencian yang mendera batin ini terhadap sebaris profesi itu.
Sebab aku melihat, hidup dokter sangat nikmat. Hanya nongkrong di rumah atau klinik, pasien datang berbondong mengangsurkan uang. Tanpa ada nego, tanpa ada diskon. Berapapun nominal yang diucapkannya, pasti pasien menyanggupi. Berbeda betul dengan pebisnis sepertiku. Belum mendapatkan proyek, harus nego-nego dulu, mengasih diskon bahkan pelicin yang sangat cepat mengoyak kocek ini.
Masuk ke ruangan putih-bersih, aku dihadapkan kepada seorang lelaki yang menurutku tak pantas menjabat sebagai dokter. Dia cocok sebagai orang pintar, atau paling tidak ustadz. Dia lelaki berpakaian gamis. Memakai topi haji. Sementara kumisnya dicukur habis.
Jenggotnya panjang melebihi jenggot kambing. Tapi satu yang membuatku harus lebih sering tertunduk di hadapannya. Matanya setajam silet seperti menghukumku. Senyumnya seolah sinis. Padahal kutahu, itu hanya perasaanku saja. Buktinya, istriku mengobrol hangat dengannya.
"Pak Rahman tak terkena penyakit apa-apa," katanya menenangkanku.
"Bagaimana mungkin, Dok? Apa dia terkena serangan jantung? Soalnya dari tadi suamiku ini memegang dadanya terus-menerus," sela istriku. Aku mengangguk-angguk setuju. Untuk berbicara, aku masih belum bisa. Aku berubah menjadi si bisu.