Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuhan Memberiku Sebuah Pelajaran

5 Februari 2019   21:39 Diperbarui: 5 Februari 2019   22:04 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Bergegas kuambil buku agenda, mencari-cari alamat temanku. Hardi, Hardi... Uh, dimana sih alamat rumahmu?

Aku sangat takut kalau-kalau kejadian di mimpiku barusan, akan menimpaku dalam waktu dekat. Dan aku mati, meninggalkan kekayaan, istri yang cantik dan anak yang dicinta. Tidak, ini tak boleh terjadi!

Istriku masih kebingungan. Namun aku harus bergerak cepat. Beruntung alamat si Hardi kutemukan; Jalan Enggang Nomor 88. Uang lima juta di lemari langsung kuambil. Sopir kupanggil, lalu meluncur ke alamat tersebut.

Lumayan susah mencarinya. Harus bertanya kepada beberapa orang yang kami temui di jalan. Harus melewati beberapa lorong sempit dan kubangan air. Ah, ini salahku. Meskipun memiliki banyak teman, tapi aku paling anti berkunjung ke rumah mereka. Akibatnya, sekarang aku blingsatan mencari salah satu alamat temanku.

Beruntung setelah perjuangan melelahkan, kutemukan rumah Hardi di ujung jalan tanah. Rumahnya beratap seng yang disusun tak beraturan. Beberapa anak kecil tanpa baju, asyik bermain mobil-mobilan di halamannya yang becek. Kulihat seorang anak yang mirip Hardi duduk di bangku panjang depan rumah. Mungkin dia anaknya yang sakit itu, dan sudah mulai sembuh.

"Mas Hardi ada?" tanyaku ramah.

"Oh, Ayah...." Dia menoleh ke dalam rumah. "Sudah pergi duluan, Pak."

"Ke rumah sakit?" lanjutku.

"Bukan. Ke kuburan, Pak. Adikku yang kemarin dirawat di rumah sakit, sudah meninggal. Ayah tak punya uang untuk biaya operasinya. Jadi, adik kami bawa pulang ke rumah.  Tapi tak lama, dia langsung meninggal," jawabnya sambil meneteskan airmata.

Seketika dadaku seperti ditusuk ribuan jarum. Aku terjerembab ke tanah sambil memeluk uang lima juta di dalam amplop. "Tuhan, Engkau telah memberiku sebuah pelajaran," batinku penuh penyesalan.

  ---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun