Bergegas kuambil buku agenda, mencari-cari alamat temanku. Hardi, Hardi... Uh, dimana sih alamat rumahmu?
Aku sangat takut kalau-kalau kejadian di mimpiku barusan, akan menimpaku dalam waktu dekat. Dan aku mati, meninggalkan kekayaan, istri yang cantik dan anak yang dicinta. Tidak, ini tak boleh terjadi!
Istriku masih kebingungan. Namun aku harus bergerak cepat. Beruntung alamat si Hardi kutemukan; Jalan Enggang Nomor 88. Uang lima juta di lemari langsung kuambil. Sopir kupanggil, lalu meluncur ke alamat tersebut.
Lumayan susah mencarinya. Harus bertanya kepada beberapa orang yang kami temui di jalan. Harus melewati beberapa lorong sempit dan kubangan air. Ah, ini salahku. Meskipun memiliki banyak teman, tapi aku paling anti berkunjung ke rumah mereka. Akibatnya, sekarang aku blingsatan mencari salah satu alamat temanku.
Beruntung setelah perjuangan melelahkan, kutemukan rumah Hardi di ujung jalan tanah. Rumahnya beratap seng yang disusun tak beraturan. Beberapa anak kecil tanpa baju, asyik bermain mobil-mobilan di halamannya yang becek. Kulihat seorang anak yang mirip Hardi duduk di bangku panjang depan rumah. Mungkin dia anaknya yang sakit itu, dan sudah mulai sembuh.
"Mas Hardi ada?" tanyaku ramah.
"Oh, Ayah...." Dia menoleh ke dalam rumah. "Sudah pergi duluan, Pak."
"Ke rumah sakit?" lanjutku.
"Bukan. Ke kuburan, Pak. Adikku yang kemarin dirawat di rumah sakit, sudah meninggal. Ayah tak punya uang untuk biaya operasinya. Jadi, adik kami bawa pulang ke rumah. Â Tapi tak lama, dia langsung meninggal," jawabnya sambil meneteskan airmata.
Seketika dadaku seperti ditusuk ribuan jarum. Aku terjerembab ke tanah sambil memeluk uang lima juta di dalam amplop. "Tuhan, Engkau telah memberiku sebuah pelajaran," batinku penuh penyesalan.
 ---sekian---