"Aku mau meminjam uang, Mas!"Â
"Uang?"Â
"Iya, uang! Tadi anak bungsuku tak sengaja menyenggol telor jualan Juragan Karennun di pasar. Telur pecah hampir lima puluh butir. Tolonglah! Mas tahu kan si juragan berperangai tak baik? Dia kalau marah seperti setan. Jadi, aku ingin kebaikan Mas. Aku janji segera membayarnya sehari atau dua hari."
Jawabanku hanya hempasan pintu. Sehari berikutnya, aku mendengar Juragan Karennun dibacok orang. Pelakunya adalah Solhim. Cerita dari mulut ke mulut, Juragan Karennun nekat mendatangi Solhim di rumahnya. Dia marah-marah tak ketulungan. Istri Solhim ditendang tepat di betis. Anak bungsu Solhim ditempeleng. Ketika Solhim hampir mendapat jatah bogem, sebilah parang menancap di lengan juragan itu. Solhim gemetaran. Untung si juragan tak mampus. Tapi, hasil yang tak dapat dielakkan, Solhim harus berurusan dengan hukum.
"Mungkinkah itu penyebabnya?" tanyaku.
"Bisa jadi! Karena perbuatanmu, seorang anak selalu berharap-harap atas sepotong pizza. Karena perbuatanmu, seorang ayah terpaksa dipenjara dan membiarkan mulut-mulut menganga kelaparan di rumahnya."
"Tapi, aku tak berniat berbuat demikian. Solhim yang memaksaku!"Â
"Tapi, tetap saja kau terlibat."
Aku tertunduk lesu, pulang ke rumah. Aku menyesal telah berbuat yang tak baik kepada Solhim dan keluarganya. Itulah, saat istri selesai memasak daging kari, aku sengaja memasukkannya sebagian ke rantang, juga ditambah beberapa sendok nasi. Aku menemui Solhim di sel kantor polisi. Sebagian daging kari plus nasi, kupesankan kepada Airin agar dikirimkan ke istri Solhim.
Di depan terali besi yang memisahkan Solhim dari dunia luar, aku memperolah terima kasih yang tiada terkira darinya. Aku pun kemudian baru menyadari bahwa tanganku sudah bisa diangkat. Bahkan, bisa mengangkat dua susun rantang dari rumahku. Kiranya, setelah niat memberi kebaikan kepada Solhim terbetik di hati ini, Allah berbaik hati menguatkan tanganku. Ah, aku tersenyum. Mesin tik itu akan berbunyi lagi di malam-malam yang sunyi.Â
---sekian---