Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangan

5 Februari 2019   11:33 Diperbarui: 5 Februari 2019   12:12 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

"Mungkin kau terkena sumpah!" 

"Terkena sumpah? Aku tak memiliki pasal apa dengan orang lain. Selama ini, aku bergaul seperti biasa."

"Mungkin kau pernah menyakiti hati seseorang."

Pikiranku berkelebat ke seorang Airin, istriku. Bisa jadi dia sakit hati melihatku tak berpenghasilan tetap lagi. Tapi, mustahil rasanya dia menyumpahiku mengingat masa pramenikah, kami berjanji untuk seia dan sekata walaupun tak seide dan sepaham masalah meroyalkan uang. Aku yang royal, sedangkan Airin paling hemat, atau oleh sikapku terhadap Mak Junnah, mertuaku? Perempuan itu, meski bermulut nyinyir, mustahil mendustai jilbab yang menyelimut kepalanya. Dia pasti tak mau menyumpahi menantu sendiri.

"Mungkin kau berat berbagi rezeki dengan orang lain."

Seolah angin panas menampar pipiku mendengar ucapannya. Ingatanku kembali ke Solhim, lelaki yang sehari-harinya menggelandang dari tong sampah demi tong sampah di kampungku. 

Suatu hari, ketika aku sedang menikmati sepotong pizza oleh-oleh mertua dari kota, Solhim melintas di depan rumahku bersama anak bungsunya. Entah sebab apa aku keluar ke teras rumah dan berdiri sambil mencap-cup sepotong pizza itu. Seingatku, langkah anak bungsu Solhim berhenti. Seingatku, mata anak kecil itu langsung bersinar. Air liurnya terbit. Dia menggapai tangan Solhim sambil mengatakan sesuatu. Kemudian, Solhim berdiri di dekatku, menyebarkan bau yang sangat tak sedap. 

"Anakku ingin secuil saja makanan itu. Tolong, kalau Mas berkenan, berilah agar hati anakku lega."

Kutatap sepotong pizza yang tinggal cabikan. Kujawab, "Aku saja sebagai orang sengsara, sudah sangat beruntung mendapatkan pizza, makanan orang-orang kaya itu. Bagaimana mungkin aku membaginya dengan anakmu. Sudahlah!" 

Di lain waktu, Solhim menggedor mimpiku. Saat sedap-sedapnya menikmati tidur di senja berawan kelabu, dia datang dengan muka memelas. Digedornya pintu seperti menggedor pintu penjara. Aku mengumpat. Kulihat wajahnya nyaris seperti monyet, menyeringai, meringis-ringis, tak nyaman dipandang.

"Ada apa?" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun