"Sudahlah! Tujuan kita hampir sampai. Bukankah kau tak ingin terus-terusan menikmati menu yang sama? Sesekali bersantaplah di restoran dengan orang segirang aku. Lihatlah, semua orang di bis ini ingin merasakan hal yang berbeda. Bukan melulu beku dalam aturan yang memuakkan!"
Aku membuang jauh-jauh wajah perempuan bergelambir itu dari ingatanku. Aku semakin melesak masuk dalam kehidupan Lucy. Tentang kisah masa lalunya, dan rencana ke depan yang tentu saja lebih bebas dan hanya diisi tawa. Ketika bis kemudian berhenti di depan rumah makan, terasa sekali cerita Lucy terpenggal. Aku masih ingin tak hanya melesak dalam kehidupannya, tapi terhempas sampai ke dasar. Begitupun perjalanan toh butuh perhentian. Jeda sejenak demi melapangkan gerak badan. Jeda sejenak demi memadatkan isi perut yang kosong.
Di rumah makan itulah beragam orang kutemui. Beragam orang dari kota-kota lain menuju kota-kota lain atau tempat dengan tanpa nama kota. Dan perlu kugarisbawahi bahwa aku sebelumnya telah salah terka. Tak hanya orang dari kota-kota lain yang memiliki tujuan atau tanpa tujuan di sini. Ada pula dari negeri lain seperti Lucy, atau lucy-lucy lain yang tak dapat kupetakan apakah mereka satu bis denganku. Atau di bis lain yang melintasi jalan sama dengan tujuan yang tak sama.
Di antara orang yang berseliweran di meja-meja, seperti kutemukan wajah Mihrab, lelaki yang paling sering memaparkanku makna hidup. Juga ada Ayah, orang yang sering mengajariku dengan rotan, meski rotan kata-katalah yang dia hantamkan kepadaku. Bukan rotan di tangan yang hanya sampai di awang. Ada pula Nek Bikuh, Kek Salamun. Beberapa teman berseragam putih. Mereka seolah tak melihatku.Â
Kucoba memanggil, tapi melambai saja aku tersesat. Tangan Lucy begitu indah merangkai peluknya. Bibirnya merah merekah. Warna bajunya merah membara. Warna bajuku merah menyala. O, kapan aku berganti baju? Seingatku sebelum berteduh di terminal, aku memakai baju abu-abu. Sebelumnya lagi ada perempuan yang menitipkan pesan dengan arloji saku, bahwa aku harus selalu mengingat waktu.
"Perjalanan dilanjutkan!"Â
Aku baru sadar bis akan berangkat. Hidangan di meja belum sempat disentuh. Lucy berbaik hati meminta pelayan membungkus semua hidangan itu. Lucy berjanji akan menikmatinya di dalam bis. Atau lebih bagus di tempat tujuan kami.
"Kau pasti terkejut bila tiba di tempat tujuan itu!" Lucy merangkul leherku saat menaiki tangga bis. "Kau akan senang. Sangat senang!"
Hmm, hujan sekarang sudah berhenti. Tapi tak juga kulihat sinar di kanan-kiri bis yang melaju kencang. Malam sedemikian rapat menyimpan cahaya. Juga tak memberi sempat bagi lampu-lampu jalan, lampu-lampu rumah, lampu-lampu kios yang seharusnya berjejalan atau satu-satu di sepanjang jalan yang kami tempuh.
Lucy kemudian menawariku sebotol minuman. Menyengat bau alkohol ketika dia membuka tutupnya dengan gigi taring yang lebih taring dari gigiku. Dulu sekali aku sesekali menikmati minuman seperti itu, sebelum akhirnya jera setelah dokter menyarankan bila ingin hidup lebih panjang, aku harus berhenti meminum minuman keras. Hal itu adalah sambungan dari sarannya agar aku berhenti rokok. Namun tatap memelas Lucy membuatku menerima botol itu. Menenggak isinya sampai tandas.
Saat pikiranku semakin larut seperti gula mencair dalam air yang mendidih, sebuah bis menyalip bis kami. Kebyar cahaya dari dalam bis itu menampakkan warna putih cerah semua. Kulihat orang-orang di bis itu menoleh ke arahku; seorang dua kukenal. Entah kenapa kali ini mereka balas melihatku, tak seperti ketika di rumah makan tadi. Mereka melambai. Mereka meneriakkan sesuatu yang sedikitpun tak tertangkap telingaku.