"Ah, tak usahlah memikirkan tentang pernikahan. Kita di sini sama, butuh hiburan. Butuh ketenangan. Butuh sesuatu yang jauh dari rutinitas. Aturan-aturan. Anda merokok?" Dia mengangsurkan sebungkus rokok.Â
Aku mengingat belum pernah merokok setelah sebelas tahun lalu dokter menyarankan bila aku ingin hidup lebih panjang, harus berhenti merokok. Tapi kali ini ditawari seorang yang lincah dan menggemaskan seperti dia, aku mengangguk juga. Kuselipkan sebatang pemuas itu di lipatan bibir. Dia menyalakan korek. Bau mesiu membuar. Kemudian asap menghalimun, bercampur-aduk dengan asap rokok seluruh penghuni bis, berhilir-mudik dari depan ke belakang.Â
Dari belakang ke depan. Tak bebas-bebas. Bis nyaris tertutup rapat. Hawa ac-lah yang sedikit menambah kesegaran, atau malahan menumpuk kesumpekan. Tapi aku masih sangat bisa tertawa. Seperti dia. Seperti seluruh penghuni bis. Seolah tujuan kami memang pasti, ke tempat yang sangat menggembirakan di depan sana. Entah di mana!
Aku dan perempuan ini menjadi sangat akrab. Kami bertukar kartu nama. O, namanya Lucy. Katanya tadi sambil tertawa, "Jangan tambahin fer di belakang namaku, ya! Kau taku maksudku?" Giginya berkilauan. Lampu bis mulai menyala. Mungkin sudah menjelang malam. Di luar hujan semakin hebat. Tak ada yang terlihat selain sekumpulan kabut memekat.
Lucy berasal bukan dari kota ini, bukan pula dari kota-kota lain. Dia dari negeri yang jauh. Negeri yang cukup sulit kueja dengan lidahku yang medok bahasa kota ini. Tapi itu tak membuat keakraban kami luntur.
Dia bercerita tentang mantan suami, juga mantan anak-anaknya. Sekarang dia sebebas elang mengarungi angkasa. Elang betina yang setiap saat bisa memangsa ayam jantan seperti aku. Dia tertawa. Aku terbahak-bahak sampai keluar air mata.
Aneh, orang-orang di bis ini, sama sekali acuh. Tak peduli tingkah kami yang urakan dan membuat bising. Â Mereka seolah sibuk dengan cerita masing-masing. Ada yang saling memeluk, menangkupkan empat belah tangan. Ada yang masing-masing menerawang seolah di langit-langit bis beberapa cicak sedang mengejar seekor nyamuk. Lalu tiba-tiba mereka tertawa. Tiba-tiba mereka disibukkan menghisap rokok. Atau sambilan meraih botol di sela selangkangan. Menenggak isinya sampai mata mereka membengkak.
"Istrimu ke mana?" Lucy mengagetkanku. Tubuh kami yang merapat dan hangat, seketika merenggang. Seolah ada yang melecutku dengan rotan dan membuatku tersentak. Istri? Seolah pusaran angin menghisapku ke dalam sebuah lorong hitam.
Di ujung lorong aku terhempas. Aku menemukan seorang perempuan yang sedang menggendong bayi, melagukan tembang pembawa tidur. Matanya terlihat kosong menatap jam dinding yang bertiktak lamban. Dia bergerak selamban tiktak jam, terseok dengan tubuh penuh gelambir. Bayi di gendongannya sudah lelap. Dia pelan sekali membuka pintu, melihat cuaca di luar, pekat. Nyala lampu di teras suram. Dia melangkah ke meja makan. Membuka tudung saji. Melihat nasi, sayur, lauk dan secangkir susu yang masih utuh. "Hmm, sudah dingin semua. Ke mana dia pulang?" ucapnya dengan tatapan hampa.
"Kenapa?" Secepat air diseruput, aku kemudian merasa terhisap. Terjerembab di atas jok, di sebelah Lucy. "Kau teringat sesuatu?" Dialah yang tiba-tiba menarikku dari dekat perempuan bergelambir tadi.
"Hmm!"