Sosok itu berdiri kokoh seperti karang. Kuamati tubuhnya. Tak ada yang aneh. Tak ada sisik atau gelambir. Tak ada kuku panjang dan runcing. Rahangnya tegas, namun bukan menyimpan taring. Tapi kutahu sorot matanya tajam. Kutahu paru-parunya entah rangkap berapa. Bisa jadi dia menyamai buaya. Pernah sekali aku melihatnya menyelam Ogan1), kemudian muncul kembali ke permukaan hampir setengah jam kemudian.
"Dia siluman buaya! Kau tak boleh lagi bertemu dia!" geram Maryam.Â
Setelah pertama kali aku bersua lelaki itu, kemudian bersua untuk kali berikutnya, Maryam menunjukkan pitam yang sangat. Hampir tangannya menjangkau dan menjambak rambutku. Dia menceracau seolah membaca mantra. Baginya, bertemu lelaki itu sama saja bertemu pemuja setan. Dan dia tak ingin aku terperangkap. Dia tak ingin aku menjelma siluman buaya.
Pikirku, alangkah naif bicara siluman buaya, sementara tivi dan parabola telah merangsek ke rumah-rumah penduduk. Apakah perlu memikirkan lagi tentang siluman buaya?
Setelah bercermin, barulah kutahu niat Maryam melarangku bertemu dengan lelaki itu.Â
Lelaki itu tinggal jauh dari pemukiman penduduk. Di tengah ilalang menyemak sampai sejauh mata memandang. Seolah permadani hijau terhampar. Lelaki itu tinggal di pinggir Ogan. Dalam sebuah gubuk beratap daun nipah. Entah apa kegiatan hari-harinya selain menangkap ikan. Tapi kutahu dia sering ditanggap ketika ada orang yang tenggelam di Musi2). Atau sekadar orang-orangan sawah mengusir buaya yang masuk pemukiman penduduk.
Ya, kutahu karena dada mengkal seperti mengkalnya biji kendondong itu, yang membuat Maryam memagariku dari lelaki itu. Siapa lelaki yang tahan melihat gadis umur tujuh belas tahun, selain paling tidak meliriknya dengan nakal. Pun seorang lelaki seperti dia. Apa tak mungkin berbuat macam-macam kepadaku? Apalagi di kediamannya, tak ada orang lain selain dia---kecuali sewaktu-waktu berdua bersamaku. Tapi kutahu dia tak akan nekad berbuat seperti itu. Dari tatapnya, dia sangat menyayangiku.Â
Tiba-tiba cahaya matahari pecah ketika sosok kokoh itu mencebur Ogan. Tubuh liatnya dibasuh air kecoklatan. Rambutnya umpama lumut hitam yang merayap di segala riak. Dia kemudian membelalak. Dia tertawa sambil berenang menjangkau darat. Tubuh kokohnya nyaris memayungiku.Â
"Kau menepati janjimu?" Seolah dia tak percaya. Rung memang selalu menganggapku kekanak yang kerap alpa janji.
"Janji kan harus ditepati!"
"Akan hal sekolah?"