Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Antu Banyu 1

1 Februari 2019   10:58 Diperbarui: 2 Februari 2019   13:17 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : pixabay.com

Maka, jadilah di pagi yang sejuk, aku ikut Ayah. Ada lima orang bersarung di ketek. Lelaki yang berkumis melintang itu sudah dua kali mengeluh tentangku. Tapi Ayah meyakinkan bahwa aku tak akan rewel dan bisa menjaga diri. 

Bahkan Ayah sampai menyanjungku kampiun menyelam juga. Kurasakan pipiku merona. Akhirnya lelaki berkumis melintang itu terdiam. Asap rokok dihembuskannya ke langit.

Ada beberapa perkakas di atas ketek. Perlatan yang seperti meja, kata Ayah untuk mengayak lumpur dan barang berharga seperti emas. Ada selang panjang yang tersambung dengan kompresor. Itu kata Ayah untuk peralatan menyelam. 

Juga ada masker, tali-temali, batangan besi, karung dan beberapa yang tak bisa dijelaskan Ayah satu per satu. Ketek tiba-tiba berhenti. Lokasi pertama menyelam telah ditemukan.

"Sekali ini aku tak perlu memakai kompresor. Bolehlah menguji ketahanan napasku di dasar sungai," sesumbar Ayah. Si kumis melintang tertawa seperti mengejek.

Ayah kemudian menyelam berbilang menit, hingga aku cemas. Si kumis melintang awas melihat ke permukaan sungai. Seperempat jam berselang, barulah Ayah muncul dengan napas megap-megap. Tapi dia berhasil memenuhkan lumpur ke dalam karung duapuluh kiloan yang tadi dibawanya ke dasar sungai.

Siang hari telah ada sedikit barang berharga yang didapat. Bukan seperti emas memang. Hanya berupa benda-benda antik juga besi dan timah. Tapi, jadilah membuat seisi ketek tersenyum lebar.

Ayah kemudian menitipkanku ke ketek Mang Atib yang kebetulan melintas di dekat kami. Senja mulai merapat. Ayah kasihan melihatku mulai kelelahan. Janji Ayah, selepas maghrib akan tiba di rumah.

* * *

Sudah seminggu Ayah sibuk di sungai. Emak bukannya lebih pendiam, tapi cerewetnya menjadi. Pasalnya, penghasilan Ayah tak lagi membuat asap di dapur rutin mengepul setiap hari. Ternyata lebih baiklah dia membecak, begitu kata Emak. Seringlah kudengar mereka bertengkar. Sering pula rasa kesal disasarkan Emak kepadaku.

Hingga suatu senja, saat aku diantar pulang ke rumah oleh Nyai Bedah, kutemukan Ayah terkapar di ruang depan rumah. Beberapa perkakas dapur centang-prenang. Kupikir Ayah sudah mati. Kupikir dia habis bertarung dengan pencuri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun