Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bunda Piara

31 Januari 2019   15:36 Diperbarui: 31 Januari 2019   15:48 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Om Sam memang sekali-dua mengajakku jalan-jalan sore. Tapi aku lebih sering menolaknya karena sungkan akan membuatnya sibuk. Dia bukan orang kaya yang setiap waktu memiliki uang lebih demi berpelesir. Dia hanya seorang pelukis yang hidup dari lukisan-lukisannya yang kadang laku dijual, kadang seret, sampai bertumpuk kanvas di biliknya yang sempit. Katanya, pelukis yang tak memiliki modal, terkadang harus rela tetap miskin, meskipun lukisan-lukisannya sangat bagus. Untuk melariskan lukisan, perlu sering-sering membuka pameran. Dan itu yang tak sanggup dilakukan Om sam seperti yang sudah dijalankan teman-temannya. Ya, itu tuh... karena dia tak memiliki modal!

Meskipun aku berusaha untuk menjalani kehidupan ini tanpa banyak tuntutan, ternyata seringkali pula aku tersandung oleh ucapan teman-teman di sekolah. Setiap kali aku menerima rapor, mereka selalu menanyakan ke mana ibuku. Kujawab saja dia tengah bekerja. Lalu ketika mereka melihat Om Sam membimbing tanganku, mulut-mulut itu pun culas, "Dia ayahmu?"

"Bukan!" jawabku tegas sambil berlalu.

"Jadi....?"

"Omku!" Aku tak ingin mereka menyudutkanku.

"Ayahmu ke mana? Ibumu ke mana?"

Aku hanya dapat membuang tangis, lalu membonceng sambil memeluk perut gendut Om Sam. Biasanya lelaki yang perhatian itu, singgah sebentar di depot es krim. Dia akan mengangsurkan dua es krim sekaligus ke tanganku. Katanya, "Satu untuk menghapus airmatamu. Satunya lagi untuk membuatmu tertawa."

Biasanya, nyes... hatiku yang gundah menjadi tenang kembali. Kulupakan semua pertanyaan teman-temanku yang usil. Meskipun besok atau besoknya lagi mereka tetap menanyakan hal yang sama. Tapi aku sudah kebal. Om Sam menyuruhku agar tak menanggapi setiap keusilan teman-temanku. Kalau aku menyikapinya dengan santai, pasti mereka akan capek sendiri, lalu berbicara denganku dengan topik yang lain.

Mungkin karena sudah akrab, seorang-dua temanku mengajuk ingin bertandang ke rumahku. Padahal aku sama sekali tak ingin. Aku malu mempertontonkan rumah yang kerdil dan tanpa perabotan itu. Aku hanya memiliki tumpukan majalah usang. Apalagi yang harus kupertontonkan ke mereka? Tak ada! Atau, apakah harus kubawa mereka menemui Om Sam dan lukisan-lukisannya? Siapa tahu hati mereka akan terhibur.

"Ya, ajaklah teman-temanmu ke mari. Om heran, sampai kau sebesar ini, belum pernah Om lihat seorang pun temanmu datang berkunjung." Begitu jawaban Om Sam ketika kukeluhkan niat teman-temanku yang ingin bertandang ke rumahku.

Sejak itulah Iin dan Yanti, dua karibku, senang bertandang ke rumahku. Biasanya kami belajar bersama. Selanjutnya membaca majalah usang di bawah dipan. Mengenai Bunda, seringkali mereka tanyakan. Sebab sampai berulangkali bertandang ke rumahku, tak sekalipun mereka melihat Bunda selain fotonya yang dipiguri dan menempel di dinding ruang depan. Aku hanya menjawab sepatah-sepatah. Kukatakan Bunda seorang pekerja yang sibuk. Dia hampir melembur setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun