Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bunda Piara

31 Januari 2019   15:36 Diperbarui: 31 Januari 2019   15:48 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tahu tempat bekerja Bunda di gedung besar itu. Sejak umur tiga tahun, aku sering membonceng di motor Om Sam, tetangga sebelah rumahku, untuk mengantarkan Bunda bekerja. 

Setiba di depan gerbang gedung yang berpagar tinggi itu, Bunda turun, lalu mengecup keningku. Dia akan menatap Om Sam sebagai ucapan terima kasih. Lalu, lelaki yang lebih muda sekian tahun darinya itu, akan membawaku pulang. Atau, kalau ingin, lelaki itu mengajakku ke pasar pagi. Membeli kue apem serta sejumput kacang rebus untuk kunikmati setiba di rumahnya yang berbilik satu, beruang tamu yang merangkap dapur, dan sebuah kamar mandi plus kakus yang tak terawat rapi.

Itulah kesenangan yang selalu kunanti setiap hari. Bahagia rasanya pagi-pagi dielus angin di jok motor sambil memeluk perut Om Sam yang gendut. Bunda duduk di belakang seraya sesekali menyebutkan benda-benda lucu yang kami temukan di sepanjang jalan.

Tapi selalu saja aku tak puas mendengar suara Bunda. Terlalu sempit waktunya untukku. Pagi benar dia sudah harus bekerja, sementara tiba di rumah setelah aku benar-benar tertidur lelap. Paling-paling, dalam sehari-semalam, dia berbincang denganku satu jam saja. Itulah yang menyebabkanku selalu mengajuk ingin diajak Bunda ke gedung besar itu. Namun Bunda selalu menolak. Alasannya, dia takut kalau-kalau aku akan mengganggu pekerjaannya maupun pekerjaan staff lainnya. Dia takut dimarahin bos. Jadi, dia hanya melemparkan janji, nanti---kapan-kapan---akan mengajakku ke gedung besar itu bila ada acara santai, seperti ulang tahun perusahaan.

"Pokoknya aku mau ikut!" rajukku tak mau mendengar alasan Bunda.

"Aisyah sama Om Sam saja, ya? Kan, bisa jalan-jalan keliling Palembang! Nanti kalau ada uang, Bunda kasih ke Aisyah untuk membeli empek-empek. Mau, kan?" Aku hanya cemberut. Hatiku ngedumel karena Bunda tak sama dengan ibu-ibu temanku. Ibu-ibu mereka selalu ada di rumah, kecuali ibu Hanifah yang berjualan kue. Itu pun dia pulang senja hari, lalu mengajak anaknya jalan-jalan sore. Kalau Bunda, apa? Dia tak pernah sekalipun mengajakku berpelesir. Bahkan di hari Minggu yang cerah, dia tetap bekerja. Apakah Bunda mesin listrik yang tak perlu mengaso?

Lebih mengesalkan lagi, Bunda tak jujur mengenai sosok Ayah. Dia mengatakan Ayah sedang bekerja di luar negeri. Entah luar negeri itu di mana, aku juga tak tahu. Tapi sosok lelaki yang selalu kubayang-bayangkan itu---seperti ayah Bima atau Latif---pun tak pernah muncul mencondongkan batang hidungnya di depanku. Berbilang bulan, berbilang tahun. Dia benar-benar kabur. Dia akhirnya lambat-laun lenyap dari ingatanku, lalu tergantikan sosok Om Sam yang piawai mempermainkan hati kekanakku.

Begitulah waktu berlalu sangat cepat, sehingga segala tuntutanku akan kehadiran seorang Bunda setiap waktu, berangsur-angsur mereda. Aku harus sekolah, yang tentu mengajariku bersikap dan berpikir lebih dewasa. Aku tak boleh membuat Bunda pusing. Seperti kata Om Sam, aku mesti sanggup membuat hati Bunda berbunga setelah setiap hari letih bekerja. Seharusnya aku memberinya sedikit pijitan, manakala aku terbangun karena langkahnya yang bersijinjit halus. Aku katakan, aku tak mau lagi membuatnya lelah menggendongku dari ruang tamu merangkap dapur Om Sam, ke bilik kecil rumah kami. "Aku sudah besar! Aku harus berani tidur sendirian dan menjaga rumah kita!  Bunda mau dipijitin, atau dibuatkan teh?"

Ku tahu Bunda pasti melepaskan senyumnya seraya menolak kebaikanku. Dia hanya merebahkanku kembali, lalu menaikkan selimut setinggi dadaku. Dia tak ingin membuat tidurku terganggu, sehingga besok pagi terlambat masuk ke sekolah.

Aku juga tak ingin lagi merepotkan diri membonceng di motor Om Sam demi mengantar Bunda bekerja. Aku membiarkan mereka pergi berlawanan arah denganku. Sebab aku akan ke sekolah esde di daerah timur, sementara mereka menuju ke barat. Pun ketika siang hari, aku hanya berada di rumah sambil membersihkan apa yang harus dibersihkan. Hingga rumah benar-benar selalu licin, karena sangat sedikit benda di rumah yang harus dibersihkan.

Bilik hanya dua. Ruang tamu satu, dapur juga satu. Kamar mandi merangkap kakus, selalu terawat rapi. Sementara barang-barang yang mengisi seluruh ruangan, hanya ada lemari pakaian, dipan beserta kasur. Dua kursi rotan dan satu meja kayu di ruang depan. Satu foto ibu dipigura, tergantung di dindingnya. Beberapa barang pecah- belah di sebuah rak kecil di dapur, serta satu meja makan, yang sering Bunda sebut meja Jepang---karena kakinya pendek---dan kami melingkarinya tak perlu memakai kursi. Juga setumpuk majalah di bawah dipan yang terlalu sering kubolak-balik.

Om Sam memang sekali-dua mengajakku jalan-jalan sore. Tapi aku lebih sering menolaknya karena sungkan akan membuatnya sibuk. Dia bukan orang kaya yang setiap waktu memiliki uang lebih demi berpelesir. Dia hanya seorang pelukis yang hidup dari lukisan-lukisannya yang kadang laku dijual, kadang seret, sampai bertumpuk kanvas di biliknya yang sempit. Katanya, pelukis yang tak memiliki modal, terkadang harus rela tetap miskin, meskipun lukisan-lukisannya sangat bagus. Untuk melariskan lukisan, perlu sering-sering membuka pameran. Dan itu yang tak sanggup dilakukan Om sam seperti yang sudah dijalankan teman-temannya. Ya, itu tuh... karena dia tak memiliki modal!

Meskipun aku berusaha untuk menjalani kehidupan ini tanpa banyak tuntutan, ternyata seringkali pula aku tersandung oleh ucapan teman-teman di sekolah. Setiap kali aku menerima rapor, mereka selalu menanyakan ke mana ibuku. Kujawab saja dia tengah bekerja. Lalu ketika mereka melihat Om Sam membimbing tanganku, mulut-mulut itu pun culas, "Dia ayahmu?"

"Bukan!" jawabku tegas sambil berlalu.

"Jadi....?"

"Omku!" Aku tak ingin mereka menyudutkanku.

"Ayahmu ke mana? Ibumu ke mana?"

Aku hanya dapat membuang tangis, lalu membonceng sambil memeluk perut gendut Om Sam. Biasanya lelaki yang perhatian itu, singgah sebentar di depot es krim. Dia akan mengangsurkan dua es krim sekaligus ke tanganku. Katanya, "Satu untuk menghapus airmatamu. Satunya lagi untuk membuatmu tertawa."

Biasanya, nyes... hatiku yang gundah menjadi tenang kembali. Kulupakan semua pertanyaan teman-temanku yang usil. Meskipun besok atau besoknya lagi mereka tetap menanyakan hal yang sama. Tapi aku sudah kebal. Om Sam menyuruhku agar tak menanggapi setiap keusilan teman-temanku. Kalau aku menyikapinya dengan santai, pasti mereka akan capek sendiri, lalu berbicara denganku dengan topik yang lain.

Mungkin karena sudah akrab, seorang-dua temanku mengajuk ingin bertandang ke rumahku. Padahal aku sama sekali tak ingin. Aku malu mempertontonkan rumah yang kerdil dan tanpa perabotan itu. Aku hanya memiliki tumpukan majalah usang. Apalagi yang harus kupertontonkan ke mereka? Tak ada! Atau, apakah harus kubawa mereka menemui Om Sam dan lukisan-lukisannya? Siapa tahu hati mereka akan terhibur.

"Ya, ajaklah teman-temanmu ke mari. Om heran, sampai kau sebesar ini, belum pernah Om lihat seorang pun temanmu datang berkunjung." Begitu jawaban Om Sam ketika kukeluhkan niat teman-temanku yang ingin bertandang ke rumahku.

Sejak itulah Iin dan Yanti, dua karibku, senang bertandang ke rumahku. Biasanya kami belajar bersama. Selanjutnya membaca majalah usang di bawah dipan. Mengenai Bunda, seringkali mereka tanyakan. Sebab sampai berulangkali bertandang ke rumahku, tak sekalipun mereka melihat Bunda selain fotonya yang dipiguri dan menempel di dinding ruang depan. Aku hanya menjawab sepatah-sepatah. Kukatakan Bunda seorang pekerja yang sibuk. Dia hampir melembur setiap hari.

Mungkin karena jenuh bertanya terus, akhirnya mereka tak lagi menanyakan keberadaan bunda. Hingga di suatu pagi yang cerah, tiba-tiba Iin menyambutku di depan gerbang sekolah esde. Aku heran, sepagi itu dia sudah berada di sekolah. Padahal sebelumnya, hampir setiap hari dia terlambat masuk. Lagipula, wajahnya kelihatan murung. Matanya menatapku dengan bermuram durja. Ada apa gerangan?

"Syah, kau sudah membaca koran hari ini?" Dia bertanya.

"Membaca koran? Memangnya aku orang kaya yang bisa membeli koran. Uang jajan saja aku tak punya, konon lagi mau membeli koran."

"Kulihat ada foto dan berita ibumu di koran ini." Dia mengeluarkan selembar koran yang sudah lecek dan hampir koyak dari dalam tasnya. "Tadi teman-teman berebutan ingin membaca beritanya. Bu Guru Aini juga sudah melihatnya."

Aku melihat foto Bunda di halaman depan. Hatiku berdesir? Ada gerangan apa yang menimpanya? Oh, Tuhan, aku sangat ketakutan. Bunda memang tak pulang dari tempatnya bekerja, sampai pagi  aku terbangun dan melihat di kasur tak ada dia. Om Sam yang buru-buru kutemui, pun bingung. Biasanya Bunda paling lama pulang sampai jam lima pagi. Tapi saat itu....

Aku tak ingin dia celaka. Cepat-cepat kubaca sebuah judul di atas foto Bunda yang tertunduk lesu dengan rambut awut-awutan; "Seorang PSK Berhasil Ditangkap Dalam Razia Kemarin".

Bunda?! Bunda, aku tak yakin ini. Aku langsung berlari meninggalkan Iin yang berteriak memanggilku. Dengan napas terengah-engah, aku langsung menemui Om Sam yang kebetulan masih duduk di teras rumahnya. Kutunjukkan foto Bunda di koran itu kepadanya. Kutunjukkan berita yang menohok hatiku itu.

"Om dan Bunda telah membohongiku selama ini. Kenapa kalian tak jujur, tentang pekerjaan Bunda? Bukankah Bunda bekerja di gedung besar itu?"

Om Sam menyuruhku agar menenangkan diri dulu. Setelah aku menyeruput segelas air putih, Om sam pun berterusterang bahwa sejak dulu  Bunda memang bekerja sebagai PSK. Dia tak bekerja di gedung besar itu. Setiap kali aku dan Om Sam mengantarnya bekerja, memang dia turun di depan gerbang gedung besar itu. Tapi setelah Om Sam melajukan motor cukup jauh, Bunda akan menyetop bus kota, lalu pergi ke lokalisasi di sebuah tempat. Dia di sana melayani pelanggan dari pagi sampai dini hari.

"Kalau tak begitu, kalian tak bisa hidup, Aisyah. Bunda hanya memiliki modal tubuh yang elok dan paras yang cantik. Jadi, dia menjual, maaf, menjual diri saja," papar Om Sam sambil tertunduk.

"Lalu ayahku di mana?"

"Tak jelas, Nak! Bundamu memang sudah menjadi PSK sejak kau belum lahir. Kelak kalau sudah dewasa, kau baru bisa mencerna apa yang kukatakan, dan mengira-ngira siapa ayahmu."

"Kau mau kalau kita pergi menemui Bunda, Aisyah?" tanya Om Sam.

Aku membisu. Sepertinya ada api kebencian yang menyulut hatiku akan sosok seorang Bunda.

---sekian---

 

Ref. Foto : pixabay

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun