Malam Ketujuh
Ruangan pengap dan menjijikkan. Amis darah menyebar. Foto-foto mayat yang menempel berjejer di dinding, membuat mual. Tiga lilin di atas pajangan berbentuk trisula, bernyala lindap, menghantarkan bau kemenyan, gaharu, beradu amis darah. Di tengah ruangan, persis di belakang meja bundar, duduk seorang lelaki berbadan gemuk-pendek. Rambutnya hitam legam. Matanya nyalang. Senyum kemenangan samar terlihat di antara nyala lilin yang lindap itu.
Dia membunyikan lonceng kecil di meja. Seketika pintu terbuka, dan memasukkan hawa segar dari luar. Seorang lelaki berbadan sedang, mengenakan jubah putih dan bertopi kerucut dari kain, masuk dengan wajah sumringah. Bibirnya yang tipis bergetar, pertanda hatinya sukacita. Di belakangnya berdiri sebuah meja beroda, stainless steel. Dengan nampan bertutup alumunium.
"Sudah siap?" tanya si gemuk-pendek.
"Sudah Tuan! Saya menghidangkan orak-arik otak, lidah, hati dan mata yang disiram kuah kari. Masih hangat, dan beraroma nikmat."
Si gemuk-pendek menyeringai. "Semua milik Tuan Marsis, bukan?"
"Siap, Tuan!"
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H