Malam Pertama
Ruangan pengap dan menjijikkan. Amis darah menyebar. Foto-foto mayat yang menempel berjejer di dinding, membuat mual. Tiga lilin di atas pajangan berbentuk trisula, bernyala lindap, menghantarkan bau kemenyan, gaharu, beradu amis darah. Di tengah ruangan, persis di belakang meja bundar, duduk seorang lelaki berbadan kurus. Rambutnya ubanan, hanya menghiasi bagian belakang batok kepalanya. Nyala lilin seperti bercermin di jidatnya yang lebar-mengkilat. Menjalar-jalar layaknya tarian erotis bergumpal eksotis.
Dia membunyikan lonceng kecil di atas meja. Seketika pintu terbuka, dan memasukkan hawa segar dari luar. Seorang lelaki gemuk-pendek, mengenakan jubah putih dan bertopi kerucut dari kain, masuk dengan wajah sumringah. Bibirnya yang tebal bergetar, pertanda hatinya sukacita. Di belakangnya berdiri sebuah meja beroda, stainless steel. Dengan nampan bertutup alumunium.
Begitu dia membuka tutup nampan itu, hawa amis meledak ruangan. Bibir si gemuk-pendek bergetar lagi. Dia gegas berdiri di belakang meja beroda itu. Mendorongnya buru-buru, jangan sampai lelaki kurus yang duduk di belakang meja bundar tersebut, tak betah menunggu. Lelaki kurus menjengkelkan. Lelaki yang memiliki selera makan malam yang aneh dan menjijikkan. Hingga bagi lelaki gemuk-pendek itu, yang bertugas sebagai koki, perjamuan malam selalu menjadi sangat mencemaskannya. Benarlah sikap beberapa koki pendahulunya, minggat buru-buru, karena tak tahan memenuhi selera lelaki kurus itu. Dan si gemuk-pendek kini mendapat tugas yang maha berat. Dia pun tak sanggup minggat. Dia butuh uang banyak demi menyiapkan pesta perkawinan anak perempuannya. Tak ada cara lain, hanyalah menjadi koki si kurus, yang kabarnya royal masalah duit.
"Ke sini! Hantarkan buru-buru hidanganku! Aku sudah sangat lapar!" geram si kurus.
"Baik, Tuan Marsis. Ini pesanan Tuan." Si gemuk-pendek yang senang dipanggil dengan sebutan Gemuk, menghidangkan hati-hati nampan itu di hadapan Tuan Marsis. Aroma amis kembali menyeruak menguasai ruangan pengap. Pintu yang tadi terbuka lebar, telah tertutup otomatis.
"Hmm, otak segar!" Tuan Marsis yang kurus itu, menyeringai saat membuka tutup nampan. Segumpal besar benda putih berbentuk usus bersusun dan dipenuhi urat-urat, menyambut seleranya. Benda putih itu adalah otak manusia. Otak yang digenangi arak murni. Sejumput selada di pinggir nampan dan mangkok kecil berisi saus tomat dan sambal, serta irisan cabe rawit berikut rajangan kemangi.
"Ini otak paling hebat, Tuan Marsis. Otak jenius seorang fisikawan dari Negeri Tirai Bambu. Saya mengolahnya sesuai selera Tuan. Tak terlalu matang, tak terlalu dingin. Sebelumnya saya rendam dengan air cuka. Lalu setengah jam dikukus. Disiram arak murni. Dan sekarang siap disantap. Mudah-mudahan dengan menikmati otak fisikawan ini, Tuan menjadi sangat jenius."
"Ya, sudah! Kau memang koki jempolan, hingga harus capek-capek mengimpor otak si jenius ini ke tempat kita. Atas hasil usahamu, aku berikan kau tips. Gajimu tetap kukasih utuh akhir bulan. Sudah, keluarlah! Aku ingin bersantap dulu!" Tuan Marsis meraih garpu dan sendok. Dia menyisihkan pisau jauh-jauh. Dia tak butuh, karena otak fisikawan itu telah lembut.
Tuan Marsis benar-benar merasakan sensasi memuaskan. Otaknya menjadi sangat enteng. Ide-ide begitu saja berjumpalitan. Dia bergegas menyudahi makannya. Menyisakan seperempat bagian otak fisikawan itu kepada kucing hitamnya yang setia menunggu di bawah meja. "Hmm, kau juga mesti jenius, kucing!"
"Meauwww!"
Flashback
Tuan Marsis memang berselera makan aneh. Apa-apa yang membuat mual orang, menjadi santapan yang menyenangkan baginya. Seperti acar tikus, semur kadal, sop otak buaya dan lain-lainnya. Beruntunglah dia seorang bermulti-talenta; penulis novel, komponis, pelukis dan makelar barang-barang antik. Dengan begitu dia tak risau membiayai selera perutnya.
Selera gilanya itulah yang membuat selama lima tahun belakangan ini hampir seratusan koki berhenti tanpa pamit. Memang penghasilan bulanan mereka melimpah. Tapi mereka rata-rata menjalani hidup dengan hati was-was. Ide apalagi yang akan dikeluarkan seorang Marsis untuk perjamuan malamnya yang gila?
Dan seminggu belakangan ini, seleranya tiba-tiba mengulah, tapi menimbulkan gelenyar yang nikmat di hati Marsis. Dia tak lagi menginginkan makanan aneh untuk perjamuan malam dari bahan binatang. Dia menginginkan santapan lain dari yang lain. Menikmati organ-organ vital manusia. Bagaimana dia mendapatkannya, itu terserah koki yang dibayarnya begitu mahal.
Malam Kedua
Gemuk merasa sangat senang karena Tuan Marsis selalu sibuk di ruang  kerjanya sejak pagi hingga menjelang siang. Bau bahan-bahan kimia menyerbak. Otak fisikawan itu membuat Tuan Marsis menjadi super jenius. Sementara pekerjaan menulis novel dibengkalaikan dulu. Lukisannya yang baru setengah jadi, dijejalkan di bawah dipan.
Namun selepas makan siang, Tuan Marsis berulah dengan rencana perjamuan malamnya. Dia menginginkan santapan mata manusia, dari manusia yang paling awas sedunia. Entah bagaimana cara mendapatkannya, dia tak perduli. Dia mengancam akan mencungkil kedua mata Gemuk, bila Gemuk tak bisa menunaikan seleranya. Siapa yang tak kalang-kabut dibuatnya?
Perkara bagaimana Gemuk mendapatkan pesanan yang dipertuan agung itu, saya tak perlu menjelaskan di sini. Saya yang membuat cerita, jadi fahami saja dan tetaplah duduk manis demi melangkah ke cerita selanjutnya.
Maka malam itu Gemuk berhasil menyiapkan sepasang mata dari paparazzi terkenal dunia. Paparazzi adalah orang yang bermata awas menurut Gemuk. Dia bisa mengetahui kapan seorang selebritis incarannya keluar dari rumah, dan kapan selingkuh, bercerai, atau mendengkur dengan pasangan homoseksnya.
Tuan Marsis tertawa lebar, Gemuk meletakkan nampan yang berisi  dua bola mata segar. Kali ini dia hanya menyiramkan sampanye ke mata itu. Serta ditaburi cabe rawit, juga lumuran saos tomat dan cabe.
"Ini bisa membuatku menjadi sangat awas. Hingga bila kau mencoba mengambil salah satu barang di ruangan ini, aku pasti tahu." Dia terbahak. Gemuk membungkuk tanpa bisa menatap mata Tuan Marsis. Kali ini dia tak langsung disuruh keluar, tapi dibiarkan melihat perjamuan malam yang memualkan. Gemuk merasa ada hawa panas mengganjal ulu hatinya. Dia mual sangat. Matanya mendelik. Air liurnya muncrat. Dia mencoba tak mau mendengar ketika garpu dan sendok mencincang dua pasang bola mata itu. Tapi, nyaris hatinya melupakan pertunjukan gila itu, saat Tuan Marsis mengakui kehebatan Gemuk, yakni dengan tips melebihi jumlah sebelumnya.
Malam Ketiga
Tak ada yang berarti. Tuan Marsis hanya menginginkan sepasang kaki yang bisa berlari cepat. Gemuk mudah mendapatkannya. Banyak berkeliaran di pasar-pasar; pedagang kaki lima. Lari mereka cepat  kalau dikejar pamong praja.
Sepasang kaki itu disop, sehingga bau amisnya hilang. Gemuk tak dituntut menyaksikan perjamuan malam itu, sehingga dia bebas menghirup udara segar, meski tips yang diterimanya sedikit.
Paginya, Tuan Marsis berlari-lari tanpa henti mengitari istana kecilnya yang megah. Dia juga menemukan pin emas yang dicarinya sekian lama, terselip di antara dinding dan cermin kamar mandi. Dia sangat bahagia. Super bahagia.
Malam Keempat
Sama tak berartinya dengan malam ketiga, di malam keempat Tuan Marsis hanya menginginkan sepasang tangan yang cekatan. Gemuk mudah mendapatkannya. Seperti untuk perjamuan malam sebelumnya, tempat pecarian sepasang tangan juga di pasar. Dia mengambil tangan pencopet terkenal yang sangat sigap mengambil barang mangsanya.
Tapi satu yang membuat Gemuk blingsatan. Besok paginya, pelayang-pelayan perempuan tiba-tiba kehilangan barang pribadi mereka seperti kutang dan celana dalam. Setelah diselidiki, ternyata Tuan Marsis pelakunya.
Gemuk tak enak hati. Dia menceritakan kepada Tuan Marsis bahwa hidangan berupa sepasang tangan yang cekatan itu, adalah bekas tangan pencopet. Akibatnya, Tuan Marsis berang. Karena merasa sebagai orang terpelajar, dia malu menjadi pencopet kelas teri. Berbeda kalau dia menjadi pencopet kelas paus, misalnya mengeruk harta negara dengan berkorupsi-ria, plus kebal hukum. Toh, hukum itu bisa dinegosiasikan kalau si tersangka memiliki harta berlimpah.
Malam Kelima
Tak ada yang berarti. Tuan Marsis berhenti memesan makanan aneh-aneh. Kejadian menikmati sepasang tangan pencopet itu, membuatnya jera sesaat. Lagipula, dia tak ingin Gemuk gegabah lagi menyiapkan hidangan perjamuan malam.
Malam Keenam
Hati Gemuk benar-benar mendidih. Permintaan Tuan Marsis untuk hidangan perjamuan malam keenam, sangat mustahil terwujud. Bagaimana tidak, dia memesan makanan spesial yang sangat sulit ditemukan, berupa rendang lidah yang paling jujur, dan sop hati semulia hati malaikat.
Seandainya Tuan Marsis menginginkan hidangan rendang lidah yang biasa-biasa, apalagi pembohong kelas wahid, pastilah Gemuk amat mudah mendapatkannya. Jangankan lidah rakyat jelata, para pejabat dan pemimpin negara saja, memiliki lidah yang sama; suka berbohong. Buktinya hampir setiap kali ingin mewujudkan keinginan, mereka selalu tak  lepas dari berbohong. Meski untuk sebuah kebohongan, harus mengeruk kocek miliaran rupiah, demi iklan-iklan pembenaran diri sebagai orang terbersih dan memihak rakyat.
Lalu di tempat mana tersimpan pemilik lidah yang paling jujur?
Orang yang memiliki lidah jujur, pasti tersisih dari pergaulan kaum srigala. Jujur membuat semua rencana buyar. Jujur menjadi tertawaan. Menjadi julukan sebagai si culun, idiot atau entahlah!
Sop hati semulia hati malaikat, di mana pula mendapatkannya? Lagipula, apakah malaikat memiliki hati? Kalau Tuan Marsis menginginkan sop hati sebejad hati setan, tak perlu hitungan menit, beberapa detik saja, Gemuk bisa mendapatkannya. Karena di sekeliling istana kecil Tuan Marsis, rata-rata orangnya berhati sebejad hati setan. Termasuk Tuan Marsis. Termasuk Gemuk sendiri. Kalau kedua orang itu memang memiliki hati yang mulia, mengapa mereka menghalalkan berbagai macam cara demi memenuhi ambisi mereka? Tuan Marsis tega menyengsarakan orang untuk dijadikan hidangan perjamuan malam, meski orang itu kemungkinan sudah meninggal. Gemuk tega menyengsarakan orang untuk dijadikan hidangan perjamuan malam, dan tak memedulikan apakah orang itu masih hidup atau telah meninggal. Yang penting selera Tuan Marsis terpuaskan, dan Gemuk memperoleh penghasilan setimpal.
Bunyi bel membuat hati Gemuk semakin mendidih. Hidangan untuk Tuan Marsis belum tersedia. Dia hanya bisa berjalan hilir-mudik di depan pintu ruang perjamuan malam.
Ah, seandainya Tuan Marsis menginginkan otak orang yang brilian, kaki-kaki yang kencang berlari, otot-otot yang kerap berolahraga, tangan-tangan cekatan, mata yang jeli, tentu mudah mendapatkannya. Betapa ribuan orang berotak brilian di muka bumi ini. Betapa jutaan manusia yang jago berolahraga. Berapa banyak tangan yang cekatan. Tak terhitung manusia yang memiliki mata yang jeli. Tapi dari semuanya, tak ada yang memiliki lidah yang jujur. Tak ada yang mempunyai hati semulia hati malaikat.
"Gemuk!" Untuk pertama kalinya Tuan Marsis mendatangi Gemuk langsung ke depan pintu ruangan perjamuan malam itu. Mata Tuan Marsis memerah. Tangannya terkepal. "Mana hidanganku?"
"Oh, lagi dimasak, Tuan! Lidah dan hati itu sangat alot," dustanya.
"Aku mau sekarang!"
Gemuk bergetar menahan ketakutan bercampur emosi. Bergegas dia berlari ke dapur. Mengambil sesuatu yang berkuah dari panci, dan dimasukkannya ke mangkok beling transparan. Kemudian dia buru-buru mendorongnya ke ruangan perjamuan malam.
Malam Ketujuh
Ruangan pengap dan menjijikkan. Amis darah menyebar. Foto-foto mayat yang menempel berjejer di dinding, membuat mual. Tiga lilin di atas pajangan berbentuk trisula, bernyala lindap, menghantarkan bau kemenyan, gaharu, beradu amis darah. Di tengah ruangan, persis di belakang meja bundar, duduk seorang lelaki berbadan gemuk-pendek. Rambutnya hitam legam. Matanya nyalang. Senyum kemenangan samar terlihat di antara nyala lilin yang lindap itu.
Dia membunyikan lonceng kecil di meja. Seketika pintu terbuka, dan memasukkan hawa segar dari luar. Seorang lelaki berbadan sedang, mengenakan jubah putih dan bertopi kerucut dari kain, masuk dengan wajah sumringah. Bibirnya yang tipis bergetar, pertanda hatinya sukacita. Di belakangnya berdiri sebuah meja beroda, stainless steel. Dengan nampan bertutup alumunium.
"Sudah siap?" tanya si gemuk-pendek.
"Sudah Tuan! Saya menghidangkan orak-arik otak, lidah, hati dan mata yang disiram kuah kari. Masih hangat, dan beraroma nikmat."
Si gemuk-pendek menyeringai. "Semua milik Tuan Marsis, bukan?"
"Siap, Tuan!"
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H