"Ini cita-cita, bukan angan-angan. Dan jalan pertama adalah ngebakar rumput."
Antara iya dan tak mau atas ajakannya, kami pun berpisah. Kukabarkan cerita Said kepada istriku. Istriku mendukung seratus persen. Mulutku kemudian sedikit berbusa mengatakan bahwa membakar rumput untuk membuka lahan itu tak bagus. Kakek-buyutku telah mengajarkan cara terbaik membuka lahan. Yakni dengan menyabit rumput dan menebang pohon. Karena kalau dengan membakarnya, akan banyak binatang-binatang yang sengsara dan mati. Memang dibanding dengan menyabit rumbut dan menebang pohon, pekerjaan membakar bakal lahan, adalah cara termurah dan tercepat. Tapi apakah itu menjadi pilihan terbaik, bila mudharat lebih banyak dari faedahnya?
Tentu rayuan istri adalah rayuan maut di dunia. Aku tergoda oleh gambaran---kendati mirip khayalan---tentang hidup yang lebih baik dari mulut istriku. Maka, besok paginya sebelum Said memastikan apakah aku akan ikut rencananya atau tidak, aku telah siap menunggu di bale-bale depan rumah dengan ransum serantang, sekotak korek api dan sebotol minyak tanah.
Said kemudian tiba dengan wajah sumringah. Lebih sumringah saat kukatakan aku menyetujui ajakannya. Perkara korek api dan sebotol minyak tanah---kecuali ransum---dia tertawa terbahak-bahak. "Seluruh peralatan ngebakar rumput, sudah disediakan perusahaan kebun sawit. Ransum, kabarnya ada juga. Tapi tak apa kau bawa, untuk selang-seling sebelum makan siang."
Said memang benar. Pekerjaan yang kami lakukan mudah. Bersenjatakan perlengkapan dari perusahaan sawit, rumput dan batang-batang gelam, dengan mudah diubah menjadi abu. Kami hanya mengawasi jangan sampai api menjalar ke kebun-kebun miliki penduduk setempatan, atau malahan menyeberang ke kebun sawit yang hampir berbuah pasir---belajar berbuah.
Pengawas dari perusahaan, selain ramah, juga royal. Berbungkus rokok dia berikan menjadi teman. Asap pembakaran yang membubung menyumpal langit, tak terasa lagi menggerogoti rongga dada, karena ditimpa asap rokok yang nikmat. Siang hari dengan ransum nasi padang, mengingatkanku kepada keluarga di rumah yang hanya makan tahu tempe dan sambal terasi. Ah, pikirku akan terasa bertambah nikmat bila mereka ikut bergabung di sini. Meski hanya sebungkus nasi padang, tapi dengan sama-sama menikmatinya, seolah menikmati nasi minyak seloyang besar.
Kulit tubuh Said dan tubuhku, terpapar api terus, hingga merah padam. Kami tak capek-capek membakar seluruh lahan bakal kebun sawit, dan menjaga api jangan sampai liar. Begitu matahari hampir terbenam, kami berberes untuk mematikan api. Ceritanya melembur, setelah pengawas menggengamkan uang masing-masing seratus lima puluh ribu ke tangan kami. Ah, aku menjerit, melompat-lompat. Ternyata pekerjaan ini mudah. Said berjanji mengusulkan kepada pengawas agar kelak kami berdua menjadi buruh tetap di perkebunan.
Lapang rasanya dada saat pulang ke rumah membawa buah tangan. Ule bukan main girangnya. Ayam gulai buah tanganku, membuatnya lahap makan. Istriku menyinggung seragam Isah yang kusam. Sambil tersenyum, kugenggamkan ke tangannya hasil jerih-payahku untuk satu hari, setelah dipotong  pembeli ayam gulai tadi.
Saat kami semua akan tidur, Isah meributkan asap yang masuk ke kamarnya. Istriku membawa selendang, dan mengusir asap itu. Sejenak suasana tenang. Mungkin Isah sudah dapat tidur nyenyak. Hanya sekali-dua dia terbatuk. Kumatikan lampu. Besok butuh tenaga lebih untuk membakar lahan.
* * *
Api yang membakar lahan, bagaikan desis ribuan ular. Pengawas belum datang. Aku dan Said hampir empat jam bertarung dengan panas dan asap. Sebentar kulihat kabut asap yang menutupi kampung di sebelah. Kabut asap yang juga akan terbang ke kampung sebelahnya. Juga ke kampungku. Juga ke rumahku. Masih terngiang suara batuk Isah tadi malam. Semoga saja bukan lantaran asap.