Duduk di dangau sambil memerhatikan pucuk-pucuk bayam berbalur embun, adalah pagi ternikmat sambil ditemani potongan ubi bakar dan secangkir kopi panas. Tapi belakangan hari ini, aku tak lagi bisa merasakannya. Matahari terlalu betah berkuasa di langit, tanpa memberikan kesempatan kepada awan hitam bertengger, menyemai hujan, membasahi tanah. Membiarkan tunas-tunas bayam mekar dan hijau. Atau setidak-tidaknya menyerahkan pagi kepada embun, memberi nutrisi pada daun-daun bayam untuk memulai hari.
Sekarang daun-daun bayam banyak menguning. Sebagian besar mati, dan belum umurnya harus menjadi sampah. Ada sekebat-dua, berhasil disayur istriku. Perkara embun, entah lari ke mana. Berbilang hari hanya ada kabut, entah dikirim dari mana. Hanya tipis, halus. Aku pikir awalnya dia datang bersama tetes embun. Tapi kutunggu lama sampai matahari terik, setetes embun pun tak menghiasi daun bayam.
"Ulo, Ulo..." Suara teriakan itu membuatku mendongak. Sebentuk kepala bercaping, dengan raut wajah sumringah, melambaikan arit di antara rimbun purun beradu ilalang dan pohon gelam. Entah berita apa yang dia bawa hingga aku juga tersalur sumringah. Sambil menampar-nampar pantat celana, aku menyongsongnya.
"Ada apa, Said? Wajah cerah begitu, habis menang togel, ya?" candaku.
"Togel, togel! Otakmu hanya togel. Ini berita bagus dari rencana perluasan kebun sawit itu. Pokoknya tokcer membuat kantong celanamu bengkak. Kerja sehari bisa seratus ribu, bahkan dua ratus ribu bila mau lembur." Tawarannya menggiurkan. Aku balas menawarkan dia sepotong ubi bakar, dan merelakan sisa kopiku, sebagai wujud terima kasih atas berita menggenbirakan yang dibawanya.
"Kerjanya ngerumput, ya?"
"Lebih mudah dari itu. Ngebakar rumput! Sudah ngebakar rumput, tinggal mengawasinya agar apinya tak lari ke mana-mana. Selesai! Kerjanya mungkin beberapa hari. Kalau-kalau bisa diperpanjang menjadi buruh kebun, bila kita patuh aturan."
Aku menggeleng cepat. Membakar rumput sama saja menambah sesak udara. Sama saja semakin menambahi beban kemarau. Aku akan menjelma pacar yang sangat merindukan kekasihnya. Merindukan embun dan hujan yang berlari entah ke mana.
Tapi  bukankah tawaran Said menggiurkan? Teringat aku seragam Isah, anak sulungku, yang warna putihnya hampir berubah menjadi kuning pucat. Terngiang jeritan si bontot Ule, ingin sesekali berlauk ayam gulai. Juga suara cempreng Yuk Nah, seolah menyatroni telingaku saat menlintas di depan warungnya. Apalagi kalau bukan menagih hutang keluargaku yang menggunung.
"Pikirkanlah, Ulo. Ini demi masa depanmu. Masa depan keluargamu. Tak mau kau berseragam buruh kebun sawit?" Said menggesek ujung arit ke tanah.
"Berseragam buruh kebun sawit? Ah, jangan berangan-angan."