Remaja tanggung itu menyeringai dari atas bak pick up butut yang melaju terangguk-angguk. Suara serak toa meraung dan sesekali mendenging, sama sekali tak mengganggu gendang telinganya. Dia tetap setia memegang layar film agar tak meriap-riap, jika ikatannya di dinding pick up lepas. Telinganya juga awas memerhatikan kalau-kalau bunyi musik dari tape berubah melik-liuk karena pita kaset yang bergulung.
Kukenalkan saja kau kepadanya. Dia Prasetyo. Hampir tiga tahun setelah urung melanjutkan sekolah ke bangku SMP, dia ikut Bang Birin di mobil reklame film. Setiap petang, sekira setengah jam setelah Ashar, dia sudah sibuk mengikat layar film di dua batang bambu kuning yang diikat sembarang di dinding pick up itu. Kemudian berdua Bang Birin dan orang bioskop, pick up melaju keliling sebagian jalan kecamatan. Apalagi kalau bukan mengabarkan berita gembira tentang film yang akan diputar sebentar malam.
Anak-anak sebayaku pasti akan sengaja melongokkan kepala dari jendela atau bergegas turun dari rumah panggung dan berjejer di halaman. Prasetyo segera melemparkan seringaian sambil sesekali melambai ke orang yang dia kenal. Dia merasa menjadi raja sepetang. Dan rasa menjadi raja sepetang itulah kiranya yang membuatnya betah ikut Bang Birin. Dia menjadi pusat perhatian orang-orang di jalan. Dia merasa sejajar dengan Amitabachan atau Rano Karno atau bintang tenar lain yang sebentar malam di putar di bioskop kecamatan.
Kendati Ayah dan Umak sangat tak senang aku bergaul dengan Prasetyo, toh aku tetap setia mengunjunginya selepas isya dengan pura-pura ijin mengaji di masjid, tapi kemudian menyelinap ke bioskop. Ayah dan Umak takut aku sepergajul Prasetyo. Lagi pula, bagi mereka, bioskop adalah sarang dosa. Mereka berjuang agar aku tak putus sekolah seperti yang dialami Prasetyo.Â
"Umak ingin kau seperti Abang Labibah! Baru berumur dua puluh tahun, dia sudah mengajar di sekolah dasar dan menjadi pegawai negeri. Berhentilah bergaul dengan pergajul itu!" Senja yang kemerahan, Umak menatarku habis-habisan karena aku terperogok mengejar-ngejar pick up reklame film hingga ke gerbang bioskop. Pedih juga sebelumnya ujung lidi kelapa mencium pantatku, yang dihantamkan Ayah. Umak meredakan tangisku. Tapi tataran Umak sesakit ujung lidi kelapa itu.
"Tapi Prasetyo sangat gagah di bak pick up, Umak! Dia juga hafal semua tentang film."
"Sudah! Jangan banyak cakap! Otakmu hanya film...terus."
Prasetyo seorang remaja yang ajaib. Meskipun jarang menonton film yang dibantunya agar laris menyedot penonton, tapi dia sangat hapal detil film yang diputar. Dia tahu nama aktor atau aktrisnya. Dia tahu siapa penulis naskahnya, sutradara, produser. Bahkan dia hapal jalan cerita di film-film itu. Karena meskipun jarang menonton film, sebenarnya film itu memang sering diputar ulang. Apalagi film India, dalam sepekan, satu judul bisa diputar tiga kali. Itulah makanya Prasetyo jarang menontonnya.Â
"Untuk apa menonton film yang sama!" Prasetyo mengalaskan demikian.
Aku sebenarnya penggila film juga. Namun sangat kurang uangku pembeli tiket. Di samping itu, aku belum cukup umur. Maka senjata andalan adalah berkawan dengan Prasetyo. Dari dialah aku mendengar cerita film-film yang diputar di bioskop kecamatan. Sekali aku memang nekad mengintip dari lobang di dinding bioskop. Susah payah mataku menembus kabut asap rokok. Kemudian sesuatu yang tajam menusuk lobang pantatku. Tak lain tak bukan, Bang Kidal, keamanan Bioskop telah memergoki dan menghadiahiku ujung sepatunya yang lancip. Aku berlari tunggang-langgang menahan sakit. Teman-teman yang menjadi saksi kejadian itu, menjadikannya guyonan. Alhasil aku tobat dan memilih menemui si pencerita sepulang sekolah di warung belakang bioskop.
"Amitabachan itu hebat. Dia bergantungan di helikopter." Prasetyo mengakhiri ceritanya sambil mulutnya komat-kamit mengunyah kacang kulit. "Untuk film hebatnya, aku menonton sampai tiga kali." Sebenarnya Prasetyo belum cukup umur juga menonton film dewasa. Tapi sebagai anak buah Bang Birin, itu menjadi pengecualian.