Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jati Ki Sobari

27 Januari 2019   10:58 Diperbarui: 27 Januari 2019   11:23 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Perbuatan kalian musyrik. Tuhan bisa marah besar!" Ki Sobari mencak-mencak. Dia membangun tembok tinggi mengelilingi seluruh rumah. Penduduk hanya dapat mengelus dada. Hanya saja ada saja yang nekad di malam buta memanjat tembok, sekadar meminta nomor togel kepada jati itu.

Waktu pun berlalu. Ki Sobari yang acap kali tak memedulikan tentang keterkaitannya dengan jati itu, suatu hari jatuh sakit. Penyebabnya karena ada penduduk yang nakal membakar batang jati itu. Untung jati itu tak sampai terbakar habis dan mati.  Lihatlah apa yang terjadi kepada Ki Sobari. Tubuhnya melepuh entah sebab apa. Mantri saja bingung melihatnya. Dukun mengatakan itu santet.

Buru-buru keluarga besar merawat jati itu agar tumbuh sehat sepeti sediakala. Seminggu berselang, ajaib, jati dan Ki Sobari segar bugar. 

"Sekarang kau percaya kan, Pak! Jati itu adalah Bapak, dan Bapak adalah jati itu." Istrinya tersenyum. Ki Sobari membisu.

Hingga puluhan tahun berselang, kendati jati tetap tumbuh kekar, tapi sudah banyak yang melupakan keterkaitannya dengan Ki Sobari. Jaman sudah modern. Banyak orang menjadi sarjana dan bekerja di kota-kota besar, bahkan di luar negeri. Ki Sobari yang telah ditinggal istrinya belasan tahun lalu, kini hidup sendiri. Dua anaknya telah menikah dan sukses sebagai pengusaha di kota besar. Jalan di depan rumah Ki Sobari yang dulu lengang, sekarang riuh klakson. Ruko-ruko menjamur. Desa menjadi kota kecil, panas dan gersang. Jati itu menjadi pembeda. Seputaran rumah Ki Sobari tetap sejuk oleh kehadirannya.

"Pokoknya, kita harus menebangnya!" Petaka pun dimulai dengan ucapan Mir, anak sulung Ki Sobari.

"Jati itu tak boleh ditebang. Bapak bisa kenapa-kenapa." Umar, si bungsu, langsung berdiri.

"Apa kau belum pernah belajar berpikir logis, Umar? Ini sudah jaman modern. Mana ada hubungan manusia dengan tumbuhan. Apa kau pikir kalau jati itu mati, Bapak juga ikut mati?"

"Jika jati itu matinya karena takdir, mungkin tak masalah. Tapi ini mati karena kita tebang. Setidak-tidaknya, meskipun Bapak tak mati, tapi dia bisa sakit-sakitan."

Mir tetap pada pendiriannya. Halaman rumah Ki Sobari memang lokasi strategis untuk berjualan. Mir berencana membangun ruko tiga tingkat di situ. Lagi pula, ketika dia meminta persetujuan Ki Sobari, lelaki tua yang merasa sudah dekat ke liang lahat itu, menjawab dengan anggukan. Hanya Umar yang tetap bersungut-sungut tak setuju.

Akhirnya jati itu ditebang. Nyali Umar ciut. Beberapa kali dia menelepon dari kota. Jawaban yang dia terima dari Bi Acih, pembantu rumah, Ki Sobari sehat-sehat saja. Syukurlah, batin Umar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun