Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jati Ki Sobari

27 Januari 2019   10:58 Diperbarui: 27 Januari 2019   11:23 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ki Sobari lahir saat tunas jati tumbuh di halaman rumah. Begitu konon ceritanya. Pada awalnya tak ada yang mengait-ngaitkan antara Ki Sobari dan jati itu. Tapi suati kali jati yang kemudian tumbuh setinggi orang dewasa, tanpa sengaja diseruduk gerobak sapi, tiba-tiba pula Ki Sobari kecil jatuh di parit.

Mang Ila, bapak Ki Sobari muntab. Musabab pertama, karena Uncang---pembantu rumah---tak telaten menjaga Ki Sobari kecil yang lagi nakal-nakalnya hingga jatuh ke parit. Musabab kedua, karena gerobak sapi telah membuat jati hampir rubuh. Untung tak sampai mati. Lalu, kisah Ki Sobari dan jati pun bermula.

Nyai Emban, tukang urut kampung yang kabarnya memiliki indra keenam, mengabarkan keterkaitan antara Ki Sobari kecil dan jati. "Sepertinya anak Juragan, kembar dengan jati yang tumbuh di halaman. Jadi, apa-apa yang terjadi pada diri Sobari, akan terjadi pula kepada jati. Begitu sebaliknya," kata Nyai Eman mengurut kaki Ki Sobari kecil yang menjerit-jerit menahan sakit. 

Mang Ila hanya melecehkan ucapan Nyai Emban dalam hati. Tapi tak lagi setelah dua hari berselang. Daun jati tiba-tiba menguning dan layu. Mungkin akibat ditabrak gerobak sapi itu. Begitu pula yang terjadi dengan Ki Sobari kecil. Kendati anak itu tak sampai menguning kulitnya, tapi dia terlihat layu. Membuka mulutnya pun susah. Sudah tiga dukun dan satu mantri yang diajak ke rumah. Namun kondisi anak itu malahan memburuk.

Mang Ila buru-buru mengambil pupuk kandang di peternakan sapi Laiden. Dipupuknya jati itu. Disiramnya dengan sedikit air. Walaupun tak seratus persen dia percaya ada keterkaitan antara Ki Sobari kecil dan jati, tapi dia hanya berusaha. Semua terserah yang di atas. Sakit berasal dari-Nya, sehat pun demikian.

Ajaib, esok harinya jati itu segar seperti sedia kala. Lebih ajaib lagi Ki Sobari kecil sudah mau makan. Bahkan dia ikut Mang Ila menonton pagelaran tari di alun-alun desa.

Begitulah kemudian antara percaya dan tidak, dari mulut ke mulut, cerita tentang Ki Sobari dan jati merebak di seluruh desa. Mang Ila yang tak ingin anaknya celaka, memagar jati itu. Tak seorang pun boleh mendekat ke situ, apalagi nekad memetik daunnya. Pernah sekali terjadi, ketika usia Ki Sobari menginjak tiga belas tahun, satu dahan jati hampir patah karena tersangkut layangan. Kaki Ki Sobari pun keseloe entah sebab jatuh di mana.

"Pokoknya siapa pun yang berusaha mengganggu jati itu, akan kuhunus dengan pedang." Demikian kiranya amarah Mang Ila yang sangat melindungi anaknya.

"Namanya cuma kecelakaan, Pak. Dari dulu aku tak percaya kalau jati itu ada hubungan dengan anak kita," sungut istrinya. "Aku tiap hari menyapu daun-daunnya yang berserakan di tanah, tapi anak kita sehat-sehat saja."

Mang Ila mengerutkan kening. "Kalau memang daunnya itu sudah tua, tak masalah. Itu sudah takdirnya. Tapi kalau sengaja tangan jahil yang mengganggunya, anak kita bisa celaka. Apa kau mau anak kita mati muda?"

Penduduk desa yang menganggap jati itu pohon keramat, kerap kali datang membawa sesajen ke situ. Apalagi sekarang dia kelihatan angker dan sakral. Tingginya melebihi atap rumah. Daunnya rimbun memayungi seluruh halaman. Mang Ila membiarkannya saja. Kendati setelah Ki Sobari tumbuh dewasa dan menikah dengan Siti, tak ada seorang pun penduduk yang diperbolehkan meminta pertolongan kepada jati itu.

"Perbuatan kalian musyrik. Tuhan bisa marah besar!" Ki Sobari mencak-mencak. Dia membangun tembok tinggi mengelilingi seluruh rumah. Penduduk hanya dapat mengelus dada. Hanya saja ada saja yang nekad di malam buta memanjat tembok, sekadar meminta nomor togel kepada jati itu.

Waktu pun berlalu. Ki Sobari yang acap kali tak memedulikan tentang keterkaitannya dengan jati itu, suatu hari jatuh sakit. Penyebabnya karena ada penduduk yang nakal membakar batang jati itu. Untung jati itu tak sampai terbakar habis dan mati.  Lihatlah apa yang terjadi kepada Ki Sobari. Tubuhnya melepuh entah sebab apa. Mantri saja bingung melihatnya. Dukun mengatakan itu santet.

Buru-buru keluarga besar merawat jati itu agar tumbuh sehat sepeti sediakala. Seminggu berselang, ajaib, jati dan Ki Sobari segar bugar. 

"Sekarang kau percaya kan, Pak! Jati itu adalah Bapak, dan Bapak adalah jati itu." Istrinya tersenyum. Ki Sobari membisu.

Hingga puluhan tahun berselang, kendati jati tetap tumbuh kekar, tapi sudah banyak yang melupakan keterkaitannya dengan Ki Sobari. Jaman sudah modern. Banyak orang menjadi sarjana dan bekerja di kota-kota besar, bahkan di luar negeri. Ki Sobari yang telah ditinggal istrinya belasan tahun lalu, kini hidup sendiri. Dua anaknya telah menikah dan sukses sebagai pengusaha di kota besar. Jalan di depan rumah Ki Sobari yang dulu lengang, sekarang riuh klakson. Ruko-ruko menjamur. Desa menjadi kota kecil, panas dan gersang. Jati itu menjadi pembeda. Seputaran rumah Ki Sobari tetap sejuk oleh kehadirannya.

"Pokoknya, kita harus menebangnya!" Petaka pun dimulai dengan ucapan Mir, anak sulung Ki Sobari.

"Jati itu tak boleh ditebang. Bapak bisa kenapa-kenapa." Umar, si bungsu, langsung berdiri.

"Apa kau belum pernah belajar berpikir logis, Umar? Ini sudah jaman modern. Mana ada hubungan manusia dengan tumbuhan. Apa kau pikir kalau jati itu mati, Bapak juga ikut mati?"

"Jika jati itu matinya karena takdir, mungkin tak masalah. Tapi ini mati karena kita tebang. Setidak-tidaknya, meskipun Bapak tak mati, tapi dia bisa sakit-sakitan."

Mir tetap pada pendiriannya. Halaman rumah Ki Sobari memang lokasi strategis untuk berjualan. Mir berencana membangun ruko tiga tingkat di situ. Lagi pula, ketika dia meminta persetujuan Ki Sobari, lelaki tua yang merasa sudah dekat ke liang lahat itu, menjawab dengan anggukan. Hanya Umar yang tetap bersungut-sungut tak setuju.

Akhirnya jati itu ditebang. Nyali Umar ciut. Beberapa kali dia menelepon dari kota. Jawaban yang dia terima dari Bi Acih, pembantu rumah, Ki Sobari sehat-sehat saja. Syukurlah, batin Umar.

Hampir tiga bulan, telah berdiri ruko tiga tingkat di halaman rumah Ki Sobari. Kini suasana rumahnya hilang sejuk. Hanya ruko itu yang menjadi peneduh sekaligus penghalang cahaya matahari dari timur. 

Suatu senja ketika Mir sedang berjalan di belakang ruko, sekonyong matanya terbelalak. Dinding ruko retak-retak. Di salah satu celah retakan, muncul ranting pohon berdaun muda.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun