"Sekali saja. Kalau tak membuat otakmu terang, jangan sebut aku Marolop. Ayolah, aku yang bandari---traktir!"
Apalah jadinya kalau pikiran kusut? Ya, menurut saja bila diajak teman meluruskan sejenak kekusutan. Lihatlah, warung Martohop sudah menantang di depan. Cukup bertimbun orang-orang perantauan di sana. Beberapa kukenal, beberapa mungkin masih pendatang baru. Mereka menyambutku dengan bersuka-cita.
"Boru-boru---perempuan---nya kau tak pernah keluar dari sarang. Ayolah, tenggen---mabuk---dulu sebentar!" Tupang merangkul bahuku. Marolop cengengesan. Martohop, si pemilik warung, menghidangkan ceret plastik dengan air berwarna putih. Aku memesan minuman suplemen sebagai campurannya.
Alamak! Enak betul otak rasanya. Cespleng seperti aki baru dicas. Lupalah pula ocehan istri yang berumpal-gumpal. Lupalah pula mertua. Lupa anak-anak. Yang ada hanya gelombang yang enak di dalam perut. Gelombang menghanyutkan di sekelilingku. Gema tawa seperti suara-suara dari negeri bunian. Gema teriakan membuatku seperti berada di pasar. Hilang semua kedukaan. Hilang semua kesusahan.
Dingin angin kemudian menyucuk-nyucuk pori-pori. Aku masih merasa dunia bergelombang. Tapi ketika mata kubelalakkan, aku ternyata sedang berada di atas mobil. Dua lelaki berseragam mengapitku.Â
"Kurangajar! Semua berhasil lepas kecuali si kunyuk ini!" geram lelaki berseragam di sebelah kiriku.
"Ya, padahal kita harus menangkap pemilik warung yang meresahkan warga itu. Tapi jadilah menangkap seorang ini saja, bahwa kita mempunyai bukti telah bertugas dengan baik," balas lelaki berseragam di sebelah kananku.
Aku pura-pura kembali pingsan. Buntalan demi buntalan masalah semakin menimbun dan membukit di kepalaku.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H