Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tenggen

26 Januari 2019   16:54 Diperbarui: 26 Januari 2019   17:04 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Suka-sukanya saja sekolah membuat peraturan. Yang penting anak mau belajar. Pelajaran masuk ke otak mereka. Sudah!"

Aku kemudian menerima kata-kata tambahan, tentang permintaan ibu mertua agar kami menambahi biaya berobat ayah mertua. Agar kami menambahi biaya sogokan karena adik ipar melamar sebagai jongos di kantor kelurahan. Memangnya kami gudang duit? Sontoloyo! 

Aku membuntalkan kata-kata dan membalikkannya ke istri. Aku ingin menerjang pintu pagar, sambil membiarkan suara si bungsu yang meminta jajan menjaring angkasa. Matahari seakan menggoreng seng. Tanah di halaman seolah mengapungkan asap. 

Begitu kemujuran muncul di pinggir jalan, aku memutuskan menerjang pintu pagar. Membiarkan si bungsu tentang uang jajan beralih menjaring wajah ibunya. Apalagi tujuan demi menghilangkan penat selain duduk mantap di boncengan. Marolop menderukan motor membelah jalan yang bolong-bolong.

"Kusut terus. Kenapa tak kau cairkan saja di warung Martohop?"

Angin mendesing-desing. Cukup sekian detik aku mencerna ucapan Marolop. Wajar saja aku susah mencerna kata-katanya. Suara motornya lebah serak dari derum bis kota.

"Kenapa? Ada yang main kartu rupanya?" Mungkin dengan memirit kartu, hidup menjadi berwarna. Sedikit berkelakar, sedikit bertengkar, menjadi pemuas rasa. Bagaimanapun aku bisa gila bertempur terus dengan istri dan anak-anak, dengan mertua anak-beranak, dengan Bedah si pemilik kedai sampah yang lebih sampah mulutnya dari kotoran. 

"Tak apa bermain kartu. Cukup berkelakar saja, berbual-bual. Kiranya ada kiriman tuak dari Medan. Orisinil dan masih segar. Tak sukanya dikau? Bisa membebaskan penat otakmu."

Dulu semasa di kampung, aku memang suka menenggak tuak di kedai yang menyempil di dinding bioskop. Sampai termuntah aku. Sampai menceracau tak karuan mulutku. Bahkan aku sempat bergebukan dengan Ruhul, teman se-SMA. Tapi sungguh cerita rapor merah, dan aku tak naik kelas, bless hilang dari pikiran. 

Meskipun sesampai di rumah, ayah telah menungguku dengan sebatang rotan. Berbual mulutnya memarahiku. Rotan bertubi melukis di betisku. Ah, kenangan menyakitkan yang terkadang menjadi manis untuk dikenang.

"Aku tak mau mabuk lagi." Aku ingin mementahkan ajakan Marolop.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun