Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tenggen

26 Januari 2019   16:54 Diperbarui: 26 Januari 2019   17:04 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selalu begini setiap pagi. Gumpalan kata-kata seolah kain kotor yang memenuhi ember. Selalu ada ocehan menyumpal telinga. Mungkin tentang angsuran rumah yang belum berbayar. Tentang gaji hatoban---pembantu---yang tak naik-naik. Rekening listrik. Rekening air. 

Gentong yang mulai keras berbunyi bila dipukul, karena beras di dalamnya hampir habis. Aih, aih, beginikah yang namanya berkeluarga? Selalu penuh intrik dan pernak-pernik pertikaian. 

Mengawali pagi selalu kusut-masai. Tanpa semangat, selain sengau mengeja langkah yang gontai. Berdengos mengejar bis kota. Menganga dengan wajah seperti orang bodoh, setiba di tempat kerjaan dengan jumpalitan tugas, dan serbuan ocehan atasan seperti desingan peluru yang menerjang telinga. Duhai, di mana tempat bertiarap? Di mana aku bisa bersembunyi dari serangan-serangan yang membuat jiwa ini terganggu?

Adalah suatu hari Mak Kiyah, perempuan yang berjualan gado-gado di belakang tempat kerjaan, melemparkan kata-kata untuk menanggapi gerutuanku yang tak putus-putus.

"Hidup memang begini, Min. Berkeluarga juga demikian. Tak ada yang nyaman. Penuh lika-liku yang membuat pikiran sumpek, hati kesal. Andaikan kau masih membujang, apakah kau pikir masalah tak akan ada yang menimpamu? Ada, Min! Bahkan bisa lebih banyak." Mak Kiyah menyeduh kopi. Saf duduk di seberangku. Dia menerima secangkir kopi dari Mak Kiyah sambil meniup-niupnya.

"Kenapa? Istrimu semakin ganas, ya?" Saf menegurku setelah bibirnya terbakar air kopi. Kata-katanya seumpama sindiran yang membuat telingaku panas. "Itulah, lebih enak membujang seperti aku. Tak ada yang mengatur ini-itu. Mau tidur seharian, silahkan. Mau begadang semalaman, tak ada yang mengurusi. Belum lagi harus berhadapan dengan mertua." Saf masih membujang. Sepertinya dia sangat membangga-banggakan hidupnya yang membujang itu.

"Tapi kalau kau lapar, keblinger sendiri. Tak ada yang masak untukmu. Tak ada yang menyuci pakaianmu. Tak ada yang memandiin," sambut Mak Kiyah seolah memberiku nilai satu, dan Saf hanya kosong. Saf merasa terkena skakmat, lalu ngeloyor menuju tempat kerjaan. Dia mengatakan akan membayar kopi yang membakar bibirnya itu nanti setelah panas di bibirnya hilang.

* * *

"Ayah, Sarjan mau dibelikan sepatu baru. Sepatu yang sekarang sudah bolong." Istri membuntal kata-kata dan melemparkannya kepadaku, saat suaminya ini baru tiba di teras rumah dan berniat mengaso sambil menikmati kretek.

"Pakai saja sepatu kakaknya."

"Sepatu itu kan berwarna putih! Sarjan harus mengenakan sepatu hitam ke sekolah kalau tak ingin dihukum guru."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun