"Mungkin Bapak hanya berhalusinasi." Dokter mengetuk-ngetuk meja.
"Saya tidak senang obat-obatan terlarang, Dok!" Saya langsung menyela sehingga dokter tersenyum geli. "Kejadian tadi malam bukan halusinasi. Tapi saya rasakan benar. Sangat nyata!"
Akhirnya dokter memberikan resep. Istri tersenyum puas. Sementara saya masih ragu. Apakah obat bisa menyembuhkan penyakit kejiwaan? Paling-paling dia hanya bisa memberikan obat penenang. Tapi saya kan bukan sedang dilanda stress!
Begitupun resep itu ditebus juga. Setelah meminumnya untuk kali kedua, saya merasa ada perubahan yang signifikan di tubuh saya. Berselang tiga hari saya bersemangat lagi. Saya mulai bebas berhai-hai dengan bawahan seperti tanpa beban. Dan mengucapkan selamat pagi, selamat siang atau petang kepada atasan saya.
Hmm, saya merasa kembali menjadi Rambassari yang sesungguhnya. Hingga ketika atasan saya menyuruh saya mengundang kembali orang-orang untuk konferensi pers, saya mengatakan siap seratus persen.
Hanya saja, lagi-lagi kejadian itu berulang. Di detik-detik menjelang pembacaan keterangan pers, tiba-tiba ada yang mengulah di diri saya. Kali ini saya tak melihat wajah yang buruk rupa di cermin. Tapi saya merasa ada lelehan nanah menembus pori-pori wajah saya. Bau busuk sangat menyengat, karena rongga hidung saya sepertinya ikut bernanah dan busuk. Â Kala sekretaris memanggil saya melalui telepon paralel, saya langsung menghambur ke pintu rahasia itu. Saya mengatakan kepada sekretaris supaya membatalkan konferensi pers, atau lebih tepatnya menunda.
Hasil akhirnya ternyata tak seperti kejadian di pembatalan konferensi pers sebelumnya. Atasan saya tetap melanjutkan acara itu. Dia berinisiatif menyuruh wakil kepala bagian keuangan, biasa dipanggil Pak Suroto, untuk menggantikan saya. Kemudian besok paginya, sesuatu yang sudah saya perkiraan bakal terjadi, kiranya terbukti. Saya dipanggil atasan, yang mengabarkan secara hormat kepada saya agar menyerahkan jabatan kepala bagian keuangan kepada Pak Suroto. Sementara saya dikembalikan menjadi kepala bagian administrasi.
Ternyata setelah itu kejadian aneh yang menimpa saya tak pernah terulang lagi. Saya heran. Saya menerka-nerka. Begitu tersebar gosip di antara sesama pegawai departemen keuangan yang idealis bahwa sebenarnya keterangan pers yang diberikan Pak Suroto sekian hari lalu sarat kebohongan, barulah saya mulai sadar.
Ternyata diri saya menolak untuk memberitakan kebohongan-kebohongan di departemen keuangan kepada publik. Karena jujur saja, sejak dulu saya memang orang yang jujur. Ini bukan narsis, tapi kenyataan. Mungkin itulah yang menyebabkan kehidupan saya di usia hampir pensiun ini, tetap begitu-begitu saja. Tinggal di rumah dinas. Berkendara mobil dinas. Dan berpenghasilan seperti yang dikeluarkan oleh pemerintah. Berbeda betul dengan pegawai-pegawai muda yang golongannya masih di bawah saya, tiba-tiba begitu mudahnya menjadi jutawan, bahkan miliuner.
Tapi tak apalah! Saya wajib bersyukur terhadap kondisi yang saya alami. Mengenai dua kali keanehan yang menimpa wajah saya, meskipun terdengar mustahil, Â saya menganggapnya nyata serta menjadi berkah dan bagian hidup saya.
---sekian---