Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajah

23 Januari 2019   14:15 Diperbarui: 23 Januari 2019   14:24 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Tiba-tiba saya tersentak melihat wajah lelaki di cermin itu. Hai, pergi ke mana kulitnya yang terang? Di mana kening lebarnya nan memukau? Mata yang cemerlang. Hidung mancung. Bibir tipis, merah, karena tak merokok. Kumis tebal menantang. Oh, Tuhan.... Kulit itu sekarang bagai gelambir berlemak!

 Kening itu memiliki belasan kerutan, dan sama sekali suram. Mata mencorong, dengan kantung seperti akan meleleh. Hidung mengembang sebesar tomat. Bibir tebal, besar seolah dipukul berulangkali. Dan kumis yang digelantungi ulat-ulat.

Saya hampir menjerit. Tapi saya tahankan. Ketukan halus sang sekretaris di pintu, membuat saya tersadar masih berada di depan cermin sejak tadi. Oh, adakah air di wastafel itu semacam cuka para sehingga wajah saya menjadi sedemikian menakutkan? Terburu saya menutup wajah dengan sapu tangan, kemudian menemui si sekretaris yang menunggu di depan pintu dengan wajah pucat.

"Bapak sudah ditunggu! Wartawan juga lengkap, seluruh media dari televisi, koran dan internet." Dia heran melihat saya. Dia memerhatikan wajah yang saya tutupi. Matanya menyipit sehingga roman orientalnya semakin kentara. "Bapak sakit? Apa yang Bapak sembunyikan di wajah itu?" lanjutnya. Saya mundur selangkah. Saya berjalan mendekati meja kerja saya. Sebuah tas dan setumpuk map langsung saya ambil. Saya langsung memasuki pintu rahasia yang menghubungkan kantor dengan tempat parkir mobil. Sekretaris mencoba menahan.

"Bilang saja Bapak sakit!"

"Tapi, Pak! Bagaimana dengan orang yang sudah kumpul? Bisa ribut, Pak!" Dia protes. Pasti sangat susah meredam emosi orang-orang yang sudah sengaja diundang untuk konferensi pers, tapi akhirnya kecewa karena acara itu dibatalkan sepihak. Padahal bisa jadi di antara mereka telah sengaja meninggalkan tugas-tugas mereka yang lebih penting dari acara konferensi pers itu.

Para wartawan, khususnya dari media yang terbit harian dan pagi hari, juga sudah kalang-kabut antara menunggu keterangan dari saya dan memikirkan dead line. Jam menunjukkan pukul tujuh lewat tigapuluh malam. Wajar saja mereka seperti memakan buah simalakama. Menunggu keterangan pers saya, sama artinya gagal menyelesaikan straight news mereka tadi siang, yang tentu kalau tak dimuat besok, lusa akan basi. Meninggalkan acara saya, berarti mereka kebobolan berita, dan siap-siap menerima teguran keras dari pemimpin redaksi.

"Uruslah!" Saya langsung menghilang di balik pintu.

* * *

Saya sudah membayangkan hal ini bakal terjadi. Dini hari ketika saya tak bisa tidur, saya membunuh waktu dengan menyalakan televisi. Sebuah berita hangat sekitar tiga menit disiarkan. Bagaimana para peserta konferensi pers di departemen keuangan marah besar. Beberapa memukul-mukul meja. Bahkan seorang fotografer membanting kameranya. Saya tak tahu apakah benda itu akan pecah, dan si fotografer menelepon saya; meminta ganti rugi.

Saya melihat sekretaris hampir menangis saking takutnya. Pak Sarwana, humas di departemen keuangan pun tak kalah cemasnya. Terdengar peserta teriak-teriak, yakni dari pihak pers, bahwa ada yang ditutup-tutupi dalam rencana konferensi pers itu. Mereka menuntut tranparansi. Sementara peserta yang dari birokrat santai-santai saja seperti biasa mereka santai menghadapi persoalan dari yang pelik sampai mudah.

Kiranya salah satu yang saya takutkan terjadi. Istri terbangun dan keluar  dari kamar. Dia melihat sepintas berita hangat di televisi itu. "Kenapa, Pa? Acara konferensi  persnya batal?"

"Bukan batal. Tapi saya tunda," elak saya. Istri langsung ke dapur. Tak lama muncul lagi di dekat saya sembari membawa secangkir teh dan setangkup roti selai nanas.

"Kok bisa begitu?"

Saya langsung menceritakan peristiwa di kamar mandi tadi malam. Saya tak ingin peserta konferensi pers mengetahui kondisi saya. Saya bisa malu. Departemen tempat saya bekerja bisa malu. Orang-orang di negeri saya tentu lebih malu, mengapa memilih dan masih mempertahankan pejabat yang memiliki wajah cacat. Maka saya mengambil inisiatif membatalkannya, membatalkan di sini hanya kata kasarnya saja. Sebenarnya menunda sampai, yah... sampai tak ada masalah dengan wajah saya.

"Papa berhalusinasi, ya? Atau Papa mulai ikut-ikutan trend sekarang?" Istri mendesak saya. Saya tahu dia mencurigai saya ada main dengan obat-obatan terlarang. Terus terang saya menjawab bahwa sejak kecil sangat anti dengan obat-obatan yang merusak jasmani dan rohani itu. Hingga sekarang tetap komitmen. Saya sangat marah bila dicurigai sebagai  "pemakai", apalagi oleh istri sendiri.

"Maaf, kalau Papa tersinggung. Saya hanya menerka-nerka saja." Dia terdiam. "Tapi bagaimanapun, masalah ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Bila besok atau lusa konferensi pers akan dilaksanakan, tahu-tahu Papa mengalami kondisi serupa dengan yang tadi malam, bisa berabe!"

Keputusannya, jam delapan pagi saya tak masuk ke kantor. Saya menelepon sekretaris bahwa saya datang ke  kantor setelah makan siang. Sekitar pukul satu atau pukul satu lewat tigapuluh.

Berdua istri, saya langsung berangkat menuju dokter pribadi kami; Dokter Manahan. Dia seorang dokter ahli kejiwaan. Menurut istri, kemungkinan ada gangguan dengan kejiwaan saya, sehingga perlu diterapi, atau perlu diberikan obat penenang misalnya.

Dokter Manahan seperti biasa menyambut pasiennya dengan tawa khas. Lelaki Batak itu langsung memeluk saya seolah hampir setahun tak bersua. Padahal baru setengah bulan saya tak berkonsultasi dengannya.

"Ada apa, Pak Rambassari? Kelihatannya anda kusut, meski tubuh anda bertambah gemuk!" Dia berkelakar. Saya hanya tersenyum Tapi istri saya langsung menjawab pertanyaan dokter itu. Istri mengatakan kondisi yang tiba-tiba saya alami untuk pertama kalinya setelah menjadi pegawai di departemen keuangan.

"Sebelumnya Bapak tak pernah begini, Dok! Hampir dua puluh lima tahun dia bekerja di bagian administrasi departemen keuangan. Dari pegawai rendahan hingga menjadi kepala bagian. Tapi setelah menjabat sebagai kepala bagian keuangan sekitar sebulan lalu, terjadilah keanehan yang menimpa Bapak seperti tadi malam. Dan itu terjadi pada saat genting, Bapak hendak memberikan keterangan pers."

"Mungkin Bapak hanya berhalusinasi." Dokter mengetuk-ngetuk meja.

"Saya tidak senang obat-obatan terlarang, Dok!" Saya langsung menyela sehingga dokter tersenyum geli. "Kejadian tadi malam bukan halusinasi. Tapi saya rasakan benar. Sangat nyata!"

Akhirnya dokter memberikan resep. Istri tersenyum puas. Sementara saya masih ragu. Apakah obat bisa menyembuhkan penyakit kejiwaan? Paling-paling dia hanya bisa memberikan obat penenang. Tapi saya kan bukan sedang dilanda stress!

Begitupun resep itu ditebus juga. Setelah meminumnya untuk kali kedua, saya merasa ada perubahan yang signifikan di tubuh saya. Berselang tiga hari saya bersemangat lagi. Saya mulai bebas berhai-hai dengan bawahan seperti tanpa beban. Dan mengucapkan selamat pagi, selamat siang atau petang kepada atasan saya.

Hmm, saya merasa kembali menjadi Rambassari yang sesungguhnya. Hingga ketika atasan saya menyuruh saya mengundang kembali orang-orang untuk konferensi pers, saya mengatakan siap seratus persen.

Hanya saja, lagi-lagi kejadian itu berulang. Di detik-detik menjelang pembacaan keterangan pers, tiba-tiba ada yang mengulah di diri saya. Kali ini saya tak melihat wajah yang buruk rupa di cermin. Tapi saya merasa ada lelehan nanah menembus pori-pori wajah saya. Bau busuk sangat menyengat, karena rongga hidung saya sepertinya ikut bernanah dan busuk.  Kala sekretaris memanggil saya melalui telepon paralel, saya langsung menghambur ke pintu rahasia itu. Saya mengatakan kepada sekretaris supaya membatalkan konferensi pers, atau lebih tepatnya menunda.

Hasil akhirnya ternyata tak seperti kejadian di pembatalan konferensi pers sebelumnya. Atasan saya tetap melanjutkan acara itu. Dia berinisiatif menyuruh wakil kepala bagian keuangan, biasa dipanggil Pak Suroto, untuk menggantikan saya. Kemudian besok paginya, sesuatu yang sudah saya perkiraan bakal terjadi, kiranya terbukti. Saya dipanggil atasan, yang mengabarkan secara hormat kepada saya agar menyerahkan jabatan kepala bagian keuangan kepada Pak Suroto. Sementara saya dikembalikan menjadi kepala bagian administrasi.

Ternyata setelah itu kejadian aneh yang menimpa saya tak pernah terulang lagi. Saya heran. Saya menerka-nerka. Begitu tersebar gosip di antara sesama pegawai departemen keuangan yang idealis bahwa sebenarnya keterangan pers yang diberikan Pak Suroto sekian hari lalu sarat kebohongan, barulah saya mulai sadar.

Ternyata diri saya menolak untuk memberitakan kebohongan-kebohongan di departemen keuangan kepada publik. Karena jujur saja, sejak dulu saya memang orang yang jujur. Ini bukan narsis, tapi kenyataan. Mungkin itulah yang menyebabkan kehidupan saya di usia hampir pensiun ini, tetap begitu-begitu saja. Tinggal di rumah dinas. Berkendara mobil dinas. Dan berpenghasilan seperti yang dikeluarkan oleh pemerintah. Berbeda betul dengan pegawai-pegawai muda yang golongannya masih di bawah saya, tiba-tiba begitu mudahnya menjadi jutawan, bahkan miliuner.

Tapi tak apalah! Saya wajib bersyukur terhadap kondisi yang saya alami. Mengenai dua kali keanehan yang menimpa wajah saya, meskipun terdengar mustahil,  saya menganggapnya nyata serta menjadi berkah dan bagian hidup saya.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun