Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajah

23 Januari 2019   14:15 Diperbarui: 23 Januari 2019   14:24 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kiranya salah satu yang saya takutkan terjadi. Istri terbangun dan keluar  dari kamar. Dia melihat sepintas berita hangat di televisi itu. "Kenapa, Pa? Acara konferensi  persnya batal?"

"Bukan batal. Tapi saya tunda," elak saya. Istri langsung ke dapur. Tak lama muncul lagi di dekat saya sembari membawa secangkir teh dan setangkup roti selai nanas.

"Kok bisa begitu?"

Saya langsung menceritakan peristiwa di kamar mandi tadi malam. Saya tak ingin peserta konferensi pers mengetahui kondisi saya. Saya bisa malu. Departemen tempat saya bekerja bisa malu. Orang-orang di negeri saya tentu lebih malu, mengapa memilih dan masih mempertahankan pejabat yang memiliki wajah cacat. Maka saya mengambil inisiatif membatalkannya, membatalkan di sini hanya kata kasarnya saja. Sebenarnya menunda sampai, yah... sampai tak ada masalah dengan wajah saya.

"Papa berhalusinasi, ya? Atau Papa mulai ikut-ikutan trend sekarang?" Istri mendesak saya. Saya tahu dia mencurigai saya ada main dengan obat-obatan terlarang. Terus terang saya menjawab bahwa sejak kecil sangat anti dengan obat-obatan yang merusak jasmani dan rohani itu. Hingga sekarang tetap komitmen. Saya sangat marah bila dicurigai sebagai  "pemakai", apalagi oleh istri sendiri.

"Maaf, kalau Papa tersinggung. Saya hanya menerka-nerka saja." Dia terdiam. "Tapi bagaimanapun, masalah ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Bila besok atau lusa konferensi pers akan dilaksanakan, tahu-tahu Papa mengalami kondisi serupa dengan yang tadi malam, bisa berabe!"

Keputusannya, jam delapan pagi saya tak masuk ke kantor. Saya menelepon sekretaris bahwa saya datang ke  kantor setelah makan siang. Sekitar pukul satu atau pukul satu lewat tigapuluh.

Berdua istri, saya langsung berangkat menuju dokter pribadi kami; Dokter Manahan. Dia seorang dokter ahli kejiwaan. Menurut istri, kemungkinan ada gangguan dengan kejiwaan saya, sehingga perlu diterapi, atau perlu diberikan obat penenang misalnya.

Dokter Manahan seperti biasa menyambut pasiennya dengan tawa khas. Lelaki Batak itu langsung memeluk saya seolah hampir setahun tak bersua. Padahal baru setengah bulan saya tak berkonsultasi dengannya.

"Ada apa, Pak Rambassari? Kelihatannya anda kusut, meski tubuh anda bertambah gemuk!" Dia berkelakar. Saya hanya tersenyum Tapi istri saya langsung menjawab pertanyaan dokter itu. Istri mengatakan kondisi yang tiba-tiba saya alami untuk pertama kalinya setelah menjadi pegawai di departemen keuangan.

"Sebelumnya Bapak tak pernah begini, Dok! Hampir dua puluh lima tahun dia bekerja di bagian administrasi departemen keuangan. Dari pegawai rendahan hingga menjadi kepala bagian. Tapi setelah menjabat sebagai kepala bagian keuangan sekitar sebulan lalu, terjadilah keanehan yang menimpa Bapak seperti tadi malam. Dan itu terjadi pada saat genting, Bapak hendak memberikan keterangan pers."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun