Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Becak Mang Ibal

23 Januari 2019   11:26 Diperbarui: 23 Januari 2019   11:31 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ah, iya, kenapa pikiran Mang Ibal menjadi melantur begitu? Dia harus menentukan sendiri ke mana kira-kira tujuan si pemuda. Penumpang adalah raja.

Mang Ibal mengingat-ingat tempat yang disebutkan si pemuda, lalu wajahnya tersaput mendung. Dia memiliki kenangan cukup banyak di jalan Bambu Runcing. Dulu, di jalan itu memang  ada jembatan bambu. Di belakang seluruh rumah bagian timur, terdapat sungai kecil kecil berair jernih. Sejak muda Mang Ibal senang mandi di situ. Mang Ibal bertemu pertama kali dengan pujaan hati, yang kemudian dinikahinya, adalah di sungai itu. Maka dibangunnyalah mimpi di rumah warisan orangtuanya. Dia sangat berharap memiliki keluarga yang diberkati Allah. Tapi nyatanya....

"Mamang tahu kan jalan yang kusebutkan tadi?" Pemuda itu membuyarkan lamunan Mang Ibal. Seketika lelaki yang hampir seperempat masa hidupnya dihabiskan dengan membecak, pun tergeragap.

Azan maghrib sudah berkumandang. Sementara jalan yang dilaluinya semakin menjauh dari tujuan utama ke Jalan Bambu Runcing. Ya, Allah, ini Jalan Angsoko yang akan memutar ke tempat aku mangkal tadi! batin Mang Ibal mengeluh.

"Maaf, Nak! Mamang tadi melamun. Kita memutar arah lagi, ya." Mang Ibal turun dari sadel, kemudian memutar arah becak. "Mamang juga mau buka puasa dulu. Maaf, ya!" Terpaksa Mang Ibal meminta pemuda itu turun sementara waktu. Buru-buru diambilnya air minum dan ubi goreng dari bawah jok becak. Ketika dia menawarkan sepotong ubi kepada pemuda itu, si pemuda lekas menampik. Katanya dia musafir dan tak sedang berpuasa. Biarlah Mang Ibal menyegerakan berbuka untuk menyudahkan laparnya.

Tiga menit berlalu, becak kembali menggeleser di jalanan beraspal mulus. Mang Ibal sudah tahu tujuan penumpangnya ke Jalan Bambu Runcing Empat. Kayuhannya berubah cepat dan mantap. Hanya saja, si pemuda seolah linglung saat becak memasuki Jalan Bambu Runcing Empat. Rumah-rumah di situ sedemikian besar. Halaman-halamannya luas serta berpagar tinggi. Adakah salah satu rumah yang ditujunya benar di situ, meski menyempil di dinding pagar rumah orang kaya? Pemuda itu yakin betul kalau rumah yang ditujunya berdinding papan dan beratap seng. Bukan berdinding tembok dan beratap genteng. Pantaslah ketika becak sampai di jalan buntu kemudian memutar arah kembali menuju jalan masuk, si pemuda tetap terlongo. Mang Ibal buru-buru memarkirkan becak di dekat pos jaga.

"Saya benar-benar tak mengenal tempat ini, Mang," keluh si pemuda. "Padahal saya sangat ingin kembali ke rumah ayah saya. Saya ingin bertemu dia. Entah bagaimana nasibnya sekarang."

Mang Ibal melihat air mata menggenang di pelupuk mata si pemuda. Kasihan betul dia. Seandainya Mang Ibal tahu alamat rumah yang ditujunya, sampai ke ujung kota sekalipun, Mang Ibal sanggup mengantarkannya. Dia tahu bagaimana sakitnya memendam rasa rindu kepada orang tercinta. Jadi, bila berhasil mempertemukan pemuda itu dengan ayahnya, sudah pasti Mang Ibal merasa amat senang.

"Kalau boleh tahu, siapa nama ayahmu, Nak?" Iseng-iseng dia bertanya. Dia menarik kretek dari sela atap becak sekadar ingin mengakrabkan diri dengan penumpangnya. Asap rokok pun mengepul, berkejar-kejaran di pendar cahaya lampu jalan.

"Nama ayahku, hmm.... Labibuddin. Apakah mamang kenal?"

"Labibuddin?" Mang Ibal menerawang. Dia sangat mengenal pemilik nama itu. "Kalau namamu siapa, Nak?" Dia balik bertanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun