Pelan sekali mobil travel berhenti di ujung Jalan Kepodang. Mang Ibal yang sejak tadi memarkir becak di bawah pohon angsana, bergegas berdiri. Rejeki! batinnya. Mang Ibal langsung mengayuh becak buru-buru. Dia tak perduli meski jam  tangannya menunjukkan pukul setengah enam sore, pertanda sebentar lagi berbuka puasa. Rejeki pantang ditolak! Mang Ibal sudah membeli dua potong ubi goreng dan satu cangkir air mineral sebagai bekal berbuka puasa.
Dia meminggirkan becak sehingga hampir mencium dinding mobil travel. Seorang pemuda berwajah tampan dan bertubuh sedang, keluar dari dalam mobil itu diikuti yang lain. Sopir membuka bagasi belakang. Pemuda itu meraih tas punggung dari tangan si sopir, kemudian dia celingak-celinguk.
Jalan Bambu Runcing! batin si pemuda. Dia memilih-milih cara terbaik sampai di rumah Jalan Bambu Runcing. Kalau menumpang taksi, pasti butuh ongkos banyak. Hampir dua puluh tahun dia tak pulang ke kota ini. Dia sama sekali alpa situasi jalan dan lorong-lorongnya.Â
Dulu, saat tinggal di sebuah rumah Jalan Bambu Runcing bersama emak dan ayahnya, dia masih berusia tiga tahun. Kata orang, ingatannya masih cetek. Lagi pula, sopir taksi bisa sengaja menyesatkannya. Menyesatkan penumpang membuat ongkos menjadi lebih mahal.
Memilih menumpang angkutan kota, pasti lebih parah. Jangankan tiba dengan selamat di rumah Jalan Bambu Runcing itu, alih-alih dia bisa tersasar. Alih-alih uangnya menipis, sehingga tiada pilihan lain kecuali pulang kembali ke Jakarta.
Mang Ibal tersenyum. Pemuda itu seolah melihat jawaban kebingungannya. Ya, menumpang becak adalah pilihan terbaik. Ongkosnya lumayan rumah, dan tak masalah bertanya-tanya tentang Jalan Bambu Runcing kepada si mamang becak.
"Mau ke mana, Nak?" tanya Mang Ibal.
"Mau ke Jalan Bambu Runcing!" jawab pemuda itu sambil duduk di jok becak. Mang Ibal langsung mengayuh pedal.
"Jalan Bambu Runcing? Bambu Runcing yang mana? Di sini Jalan Bambu Runcing ada empat. Bambu Runcing satu, dua, tiga dan empat?" Mang Ibal tak ingin menjelang berbuka puasa, dipayahkan oleh pemuda itu. Pemuda itu sepertinya buta tentang kota ini.
"Bambu runcing yang mana, ya? Maaf, Mang, saya tak tahu. Saya sudah meninggalkan kota ini dua puluh tahun lalu. Tapi samar saya ingat ada jembatan bambu di jalan menuju rumah saya. Ada sungai kecil berair jernih di belakang rumah. Hanya itu yang bisa saya kenang."
Mang Ibal geli. Mana ada lagi di kota ini jembatan yang terbuat dari bambu. Semua serba baja yang di atasnya ditimbun semen coran. Tak ada pula sungai kecil, karena semua sudah ditimbun tanah, dan dijadikan pemukiman elit atau pusat pertokoan. Bahkan rawa-rawa tak luput dari sasaran. Wajarlah tak ada lagi tampungan air kala hujan. Wajar pula bila hujan turun lebat semisal seperempat jam saja, maka kota ini langsung banjir. Jalanan macet karena beberapa kendaraan bermotor, mogok.
Ah, iya, kenapa pikiran Mang Ibal menjadi melantur begitu? Dia harus menentukan sendiri ke mana kira-kira tujuan si pemuda. Penumpang adalah raja.
Mang Ibal mengingat-ingat tempat yang disebutkan si pemuda, lalu wajahnya tersaput mendung. Dia memiliki kenangan cukup banyak di jalan Bambu Runcing. Dulu, di jalan itu memang  ada jembatan bambu. Di belakang seluruh rumah bagian timur, terdapat sungai kecil kecil berair jernih. Sejak muda Mang Ibal senang mandi di situ. Mang Ibal bertemu pertama kali dengan pujaan hati, yang kemudian dinikahinya, adalah di sungai itu. Maka dibangunnyalah mimpi di rumah warisan orangtuanya. Dia sangat berharap memiliki keluarga yang diberkati Allah. Tapi nyatanya....
"Mamang tahu kan jalan yang kusebutkan tadi?" Pemuda itu membuyarkan lamunan Mang Ibal. Seketika lelaki yang hampir seperempat masa hidupnya dihabiskan dengan membecak, pun tergeragap.
Azan maghrib sudah berkumandang. Sementara jalan yang dilaluinya semakin menjauh dari tujuan utama ke Jalan Bambu Runcing. Ya, Allah, ini Jalan Angsoko yang akan memutar ke tempat aku mangkal tadi! batin Mang Ibal mengeluh.
"Maaf, Nak! Mamang tadi melamun. Kita memutar arah lagi, ya." Mang Ibal turun dari sadel, kemudian memutar arah becak. "Mamang juga mau buka puasa dulu. Maaf, ya!" Terpaksa Mang Ibal meminta pemuda itu turun sementara waktu. Buru-buru diambilnya air minum dan ubi goreng dari bawah jok becak. Ketika dia menawarkan sepotong ubi kepada pemuda itu, si pemuda lekas menampik. Katanya dia musafir dan tak sedang berpuasa. Biarlah Mang Ibal menyegerakan berbuka untuk menyudahkan laparnya.
Tiga menit berlalu, becak kembali menggeleser di jalanan beraspal mulus. Mang Ibal sudah tahu tujuan penumpangnya ke Jalan Bambu Runcing Empat. Kayuhannya berubah cepat dan mantap. Hanya saja, si pemuda seolah linglung saat becak memasuki Jalan Bambu Runcing Empat. Rumah-rumah di situ sedemikian besar. Halaman-halamannya luas serta berpagar tinggi. Adakah salah satu rumah yang ditujunya benar di situ, meski menyempil di dinding pagar rumah orang kaya? Pemuda itu yakin betul kalau rumah yang ditujunya berdinding papan dan beratap seng. Bukan berdinding tembok dan beratap genteng. Pantaslah ketika becak sampai di jalan buntu kemudian memutar arah kembali menuju jalan masuk, si pemuda tetap terlongo. Mang Ibal buru-buru memarkirkan becak di dekat pos jaga.
"Saya benar-benar tak mengenal tempat ini, Mang," keluh si pemuda. "Padahal saya sangat ingin kembali ke rumah ayah saya. Saya ingin bertemu dia. Entah bagaimana nasibnya sekarang."
Mang Ibal melihat air mata menggenang di pelupuk mata si pemuda. Kasihan betul dia. Seandainya Mang Ibal tahu alamat rumah yang ditujunya, sampai ke ujung kota sekalipun, Mang Ibal sanggup mengantarkannya. Dia tahu bagaimana sakitnya memendam rasa rindu kepada orang tercinta. Jadi, bila berhasil mempertemukan pemuda itu dengan ayahnya, sudah pasti Mang Ibal merasa amat senang.
"Kalau boleh tahu, siapa nama ayahmu, Nak?" Iseng-iseng dia bertanya. Dia menarik kretek dari sela atap becak sekadar ingin mengakrabkan diri dengan penumpangnya. Asap rokok pun mengepul, berkejar-kejaran di pendar cahaya lampu jalan.
"Nama ayahku, hmm.... Labibuddin. Apakah mamang kenal?"
"Labibuddin?" Mang Ibal menerawang. Dia sangat mengenal pemilik nama itu. "Kalau namamu siapa, Nak?" Dia balik bertanya.
"Erdang, Mang!"
Mang Ibal menepuk pundak pemuda bernama Erdang itu. Mereka saling bersitatap. Kata Mang Ibal. "Orang biasa memanggil saya Ibal. Tapi nama saya sebenarnya, dan telah lama saya lupakan, adalah Labibuddin."
Mata Mang Ibal berkaca-kaca. Air mata Erdang merebak. Kedua insan itu saling berpelukan erat menuntaskan rasa rindu yang mengarat. Keduanya sebentar lagi akan bercerita tentang yang sudah-sudah. Ya, sebentar lagi. Sabar saja. Sebentar lagi! Mereka harus shalat maghrib dulu.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H