Kepul asap dan semerbak wangi kemplang bakar, menyeruak dari rusuk rumah. Sebuah pondok panggung tanpa dinding, beratap rumbia, tersekap kabut. Seorang perempuan usia senja, tampak seperti terkantuk-kantuk di situ. O, bukan terkantuk-kantuk. Dia tertunduk-tunduk, menjaga jangan sampai bara di dalam kotak besi di hadapannya---menjelma api---dengan meniup-niupnya. Aku tahu matanya pasti pedas. Aku tahu air mata berjatuhan di balik kacamata tebal itu. Ah, Mak Khoiriyah. Kau terlalu gigih menarung hidup, meskipun tubuhmu seharusnya perlu istirah.
Kukenalkan kepadamu tentang Mak Khoiriyah itu. Dia ibuku, biasa kupanggil Mak. Sejak aku berusia enam tahun, Mak telah didera cobaan teramat berat. Ayah, biasa kupanggil Bak, meninggal disenggol truk. Padahal Bak adalah tulang-punggung keluarga kami satu-satunya. Sementara Mak, kala itu sering sakit-sakitan. Mungkin karena mengandung adikku, si Mutmainnah.
Tapi betapa kekuatan hati Mak tiba-tiba menyeruak demi anak-anaknya. Memang berhari dia ditelan resah, dan tangis yang seolah memiliki mata air. Tapi genap dua minggu, dia sudah tegar. Dia ikut truk kuning bersama ibu-ibu berbaju kuning. Katanya ingin menyapu kota kabupaten.
"Mak!" jeritku. Bukan karena suara bising. Pendengaran Mak sekarang berkurang jauh.
Dia menengadah. Menyipit matanya menahan silaunya siang. Bergegas diangkatnya kemplang yang belum matang dari atas panggangan. Dia menampar-namparkan telapak tangan. Mencoba berdiri, meskipun susah-payah. Kupegang saja pundaknya. Kupapah dia menuju rumah.
"Kapan dari Palembang? Ada kabar apa? Cucuku sehat-sehat, kan?" Seperti biasa, setiap kali kami bertemu setelah jeda yang cukup lama, pertanyaan Mak selalu berentet dan membuatku gelagapan.
"Baru saja. Tadi kuperhatikan juga Mak sebentar bekerja. Sepertinya sangat tak kuat lagi badan Mak." Kutarik napas dalam-dalam. Niatku sebenarnya ingin mengajak Mak ke Palembang. Aku tak mau lagi dia bekerja terlalu berat. Coba, kapan waktuku untuk berbakti, membuatnya tenang menjalani hidup dan ibadah?
Dulu, ketika aku anak-anak, dia telah berjibaku menjadi tukang sapu kota kabupaten. Ketika aku remaja, dia beralih menjadi penjual gado-gado. Dan saaat aku dewasa, kemudian menikah, dia tetap menjadi penjual gado-gado. Tapi asam urat yang membuat kedua kakinya bergerak kepayahan, akhirnya memaksa Mak bekerja sebagai pemanggang kemplang. Kata Mak itu lebih ringan, karena kerjanya lebih sering duduk.
"Kabar kami semua, baik-baik saja, Mak. Bolehlah hari ini kita Palembang. Iruf, diterima di SMP pavorit. Nilai Ebtanasnya juga tinggi. Jadi, lusa ada hajatan kecil-kecilan di rumah."
Mak seperti enggan. Kulihat matanya suram. Tapi mengingat Iruf, dia terpaksa mengalah. Dipanggilnya Bedah, tetangga sebelah rumah, untuk meneruskan membakar kemplang-kemplang itu. Dia berbenah dengan mengumpul pakaian sehelai-dua. Tapi kutambahi beberapa helai, dengan alasan lagi musim hujan di Palembang.
"Nanti kalau pakaian Mak dicuci, susah keringnya," lanjutku.
"Iyalah, bisalah kau bercakap begitu. Tapi lantaran tak ingin melihat si Iruf kecewa, Â Mak mau kau ajak ke Palembang."
Aku tersenyum. Tapi hatiku sebenarnya muram. Bagaimanapun, aku telah berdusta kepada Mak. Nilai Ebtanas Iruf memang tinggi. Dia juga diterima di SMP pavorit. Hanya saja, hajatan kecil-kecilan itu, hanya bohong belaka. Aku menyiasati agar Mak mau bersamaku ke Palembang. Tinggal selamanya di sana. Agar dia berhenti pula mencari nafkah. Coba, apa kata orang. Masa' ibu seorang berpangkat di pemerintahan, masih dibiarkan bekerja membakar kemplang! Apa tak ada rasa kasihan anaknya untuk membiayai hidup si ibu?
* * *
Bukan main girangnya kedua anakku menyambut nenek mereka. Sama seperti Mak, sampai berurai air mata mengumbar tawa. Sebagai buah kegembiraan, tentulah Mak tak lupa membawa oleh-oleh untuk cucu-cucunya itu. Beberapa bungkus kemplang, dan permen aneka-rupa.
Aku tahu apa yang membuat anak-anakku begiru girang. Ya, tentu saja karena kedatangan Mak, sedikit-banyaknya mereka memiliki pembela. Misal, kalau ingin melarang mereka jangan terlalu banyak makan permen, Mak pasti membela, "Sekali-sekali tak apalah, Man!" Atau, kalau mereka belum tidur sampai larut malam. "Dongengku belum habis, Man. Lagi pula, besok kan hari libur!"
O, ooo... Tapi kondisi itu tentu tak akan berlanjut terlalu lama. Yang penting Mak bisa kuurus. Yang penting aku bisa berbakti setelah sekian lama Mak seperti enggan memberikan surga di telapak kakinya untuk kuselami.
"Kita makan-makan keluar saja Mak," kataku ketika Mak menanyakan rencana hajatan kecil-kecilan itu. Mak seperti kecewa. Tapi dia kembali bisa tertawa saat kami bersantap di pinggiran danau buatan.
"Kapan kita pulang, Man? Mungkin si Bedah kepayahan membakar kemplang kemplang pesanan. Kasihan dia kalau aku tak ikut membantu," katanya di hari lain.
"Minggu depan saja, Mak!" kilahku. "Pekerjaan di kantor sedang menumpuk!"
"Aku ingin pulang, Man!"
"Iya, Mak. Sabar, ya!"
* * *
Kini tak ada lagi suara Mak mengajak pulang. Dia mengeluh tak selera makan. Dia mengeluh badannya seperti meriang. Hasilnya, Mak hanya berbaring di kamar. Wajahnya terlihat pucat. Bibirnya mengering.
Aku panik dan menelepon Binsar, dokter langganan keluargaku. Saat diperiksa, Mak hanya memejamkan mata. Binsar menarik tanganku ke luar dari kamar. Berdua kami duduk di teras samping rumah yang menghadap ke kolam ikan.
"Bagaimana kabar pekerjaanmu?" Binsar menanyakan sesuatu yang tak sesuai dengan tema yang kuinginkan.
"Bagaimana pekerjaanku? Harusnya aku yang bertanya, Binsar. Bagaimana kondisi Mak?" Aku cemberut. Binsar tertawa. Sepertinya dia menganggap sakit Mak persoalan sepele.
"Mak tak sakit apa-apa. Dia sehat-sehat saja. Hanya jiwanya yang mungkin sakit. Mungkin ada keinginannya yang tak terpenuhi. Ajaklah Mak berbicara baik-baik. Aku harus meresep obat apa untuk kondisi fisiknya yang sehat wal afiat?"
Setelah Binsar pergi, pelan-pelan aku masuk ke kamar Mak. Kututup pintu perlahan. Kupijit-pijit lengan Mak.
"Apa yang sebenarnya Mak rasakan?" tanyaku.
Tubuh tua itu bergerak. Mata lamur itu membuka lambat. Hanya saja, Â mulutnya tetap terkunci. Aku mencoba menyelami apa yang beriak di mata Mak. Tapi aku tak mendapat apa-apa, selain melihat lorong yang kosong tak berujung. Aku merasa lunglai sekarang.
"Apa Mak ada keinginan?" Selintas kuingat beberapa tahun lalu, Mak berhasrat pergi haji lagi. "Apa Mak mau kita ke Mekkah lagi?" Kutatap matanya, Ada secercah cahaya melintas. Kemudian redup. Mata itu kembali menutup.
"Bicaralah, Mak! Jangan membuatku cemas. Atau, apa Nikmah berbuat tak menyenangkan hati Mak?" Nikmah itu nama istriku. Mata itu membuka. Kepalanya menggeleng. "Lalu...?"
"Mak ingin pulang ke kampung, Man!" Hanya sepotong kalimat itu dia lontarkan. Cahaya matanya bersinar menunggu jawabanku.
"Bagaimanalah aku tega membiarkan Mak sendirian di kampung. Apa kata orang? Kalaulah aku memang hidup melarat, mungkin orang maklum. Tapi ini, Mak bisa melihat sendiri kondisi, kan? Lagi pula, kapan anak Mak ini bisa berbakti?"
"Selama Mak masih hidup, berpantang bagi Mak berpangku tangan. Kalau kau ingin memberi apa-apa kepada Mak, berikan saja. Tapi Mak tak ingin kau menghentikan niat Mak bekerja. Mak masih ingin di usia senja ini, tetap bisa mencicipi hasil keringat sendiri. Kau sudah berbakti kepada Mak, Man. Dengan memberikan kesejahteraan kepada istri dan anak-anakmu, itu Mak anggap berbakti. Dengan mengajari mereka agama dan menjalankan perintah Allah, itu yang paling membuat Mak senang." Dia duduk tiba-tiba. "Jadi, kapan kita pulang?"
* * *
Kepul asap dan semerbak wangi kemplang bakar, menyeruak dari rusuk rumah. Sebuah pondok panggung tanpa dinding, beratap rumbia, tersekap kabut. Seorang perempuan usia senja, tampak seperti terkantuk-kantuk di situ. O, bukan terkantuk-kantuk. Dia tertunduk-tunduk, menjaga jangan sampai bara di dalam kotak besi di hadapannya, menjelma api dengan meniup-niupnya. Aku tahu matanya pasti pedas. Aku tahu air mata berjatuhan di balik kacamata tebal itu. Ah, Mak Khoiriyah. Kau terlalu gigih menarung hidup meskipun tubuhmu seharusnya perlu istirah.
Kususut air mata. Kututup kaca jendela mobil. Mobil melaju pelan di jalan kampung. Lambat-laun meninggalkan kepul asap itu. Lambat-laun meninggalkan kampung itu. Kemudian memasuki jalan besar dengan deretan penjual dan pembakar kemplang di pinggirnya. Kulihat ibu-ibu seumuran Mak di situ. Aku mengelus dada, melajukan mobil lebih kencang.
---sekian---
Ref. Foto : pixabay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H