Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepul Asap

22 Januari 2019   13:25 Diperbarui: 22 Januari 2019   13:31 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

* * *

Kini tak ada lagi suara Mak mengajak pulang. Dia mengeluh tak selera makan. Dia mengeluh badannya seperti meriang. Hasilnya, Mak hanya berbaring di kamar. Wajahnya terlihat pucat. Bibirnya mengering.

Aku panik dan menelepon Binsar, dokter langganan keluargaku. Saat diperiksa, Mak hanya memejamkan mata. Binsar menarik tanganku ke luar dari kamar. Berdua kami duduk di teras samping rumah yang menghadap ke kolam ikan.

"Bagaimana kabar pekerjaanmu?" Binsar menanyakan sesuatu yang tak sesuai dengan tema yang kuinginkan.

"Bagaimana pekerjaanku? Harusnya aku yang bertanya, Binsar. Bagaimana kondisi Mak?" Aku cemberut. Binsar tertawa. Sepertinya dia menganggap sakit Mak persoalan sepele.

"Mak tak sakit apa-apa. Dia sehat-sehat saja. Hanya jiwanya yang mungkin sakit. Mungkin ada keinginannya yang tak terpenuhi. Ajaklah Mak berbicara baik-baik. Aku harus meresep obat apa untuk kondisi fisiknya yang sehat wal afiat?"

Setelah Binsar pergi, pelan-pelan aku masuk ke kamar Mak. Kututup pintu perlahan. Kupijit-pijit lengan Mak.

"Apa yang sebenarnya Mak rasakan?" tanyaku.

Tubuh tua itu bergerak. Mata lamur itu membuka lambat. Hanya saja,  mulutnya tetap terkunci. Aku mencoba menyelami apa yang beriak di mata Mak. Tapi aku tak mendapat apa-apa, selain melihat lorong yang kosong tak berujung. Aku merasa lunglai sekarang.

"Apa Mak ada keinginan?" Selintas kuingat beberapa tahun lalu, Mak berhasrat pergi haji lagi. "Apa Mak mau kita ke Mekkah lagi?" Kutatap matanya, Ada secercah cahaya melintas. Kemudian redup. Mata itu kembali menutup.

"Bicaralah, Mak! Jangan membuatku cemas. Atau, apa Nikmah berbuat tak menyenangkan hati Mak?" Nikmah itu nama istriku. Mata itu membuka. Kepalanya menggeleng. "Lalu...?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun