Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepul Asap

22 Januari 2019   13:25 Diperbarui: 22 Januari 2019   13:31 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mak ingin pulang ke kampung, Man!" Hanya sepotong kalimat itu dia lontarkan. Cahaya matanya bersinar menunggu jawabanku.

"Bagaimanalah aku tega membiarkan Mak sendirian di kampung. Apa kata orang? Kalaulah aku memang hidup melarat, mungkin orang maklum. Tapi ini, Mak bisa melihat sendiri kondisi, kan? Lagi pula, kapan anak Mak ini bisa berbakti?"

"Selama Mak masih hidup, berpantang bagi Mak berpangku tangan. Kalau kau ingin memberi apa-apa kepada Mak, berikan saja. Tapi Mak tak ingin kau menghentikan niat Mak bekerja. Mak masih ingin di usia senja ini, tetap bisa mencicipi hasil keringat sendiri. Kau sudah berbakti kepada Mak, Man. Dengan memberikan kesejahteraan kepada istri dan anak-anakmu, itu Mak anggap berbakti. Dengan mengajari mereka agama dan menjalankan perintah Allah, itu yang paling membuat Mak senang." Dia duduk tiba-tiba. "Jadi, kapan kita pulang?"

* * *

Kepul asap dan semerbak wangi kemplang bakar, menyeruak dari rusuk rumah. Sebuah pondok panggung tanpa dinding, beratap rumbia, tersekap kabut. Seorang perempuan usia senja, tampak seperti terkantuk-kantuk di situ. O, bukan terkantuk-kantuk. Dia tertunduk-tunduk, menjaga jangan sampai bara di dalam kotak besi di hadapannya, menjelma api dengan meniup-niupnya. Aku tahu matanya pasti pedas. Aku tahu air mata berjatuhan di balik kacamata tebal itu. Ah, Mak Khoiriyah. Kau terlalu gigih menarung hidup meskipun tubuhmu seharusnya perlu istirah.

Kususut air mata. Kututup kaca jendela mobil. Mobil melaju pelan di jalan kampung. Lambat-laun meninggalkan kepul asap itu. Lambat-laun meninggalkan kampung itu. Kemudian memasuki jalan besar dengan deretan penjual dan pembakar kemplang di pinggirnya. Kulihat ibu-ibu seumuran Mak di situ. Aku mengelus dada, melajukan mobil lebih kencang.

---sekian---

Ref. Foto : pixabay

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun